Minggu, 22 Januari 2012

Tata Laksana Perdarahan Pasca Salin


PERDARAHAN PASCA PERSALINAN (PPP)

Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)

Tujuan instruksional umum

Memahami apa yang dimaksud dengan perdarahan pasca persalinan, faktor predisposisi terjadinya, cara menegakkan diagnosisnya serta modus operandi penanganannya dari segi pencegahan, pertolongan pertama yang harus dikerjakan, persiapan dan cara rujukan serta penanganan akhir di pusat pelayanan tersier.

Tujuan instruksional khusus

  1. Memberikan definisi tentang perdarahan pasca persalinan serta menyebutkan berbagai kausanya.
  2. Dapat memberikan diskripsi jelas tentang atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, inversi uteri, dan perdarahan pasca persalinan tertunda.
  3. Dapat menyebutkan faktor predisposisi terjadinya PPP untuk setiap kausa.
  4. Dapat membuat diagnosis yang dapat membedakan kausa yang satu dan yang lainnya lewat anamnesa, hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
  5. Dapat menjelaskan tindakan atau manajemen darurat yang harus dilakukan sesuai dengan masing masing kausanya.
  6. Mengetahui dan dapat memutuskan kapan melakukan dan persiapan rujukan.
  7. Mengetahui dan mendiskusikan skenario kemungkinan tindakan atau terapi yang akan dikerjakan di rumah sakit rujukan mulai dari medikamentosa sampai tindakan operatif..
  8. Dapat menjelaskan hal hal yang terkait dalam rangka pencegahan.


INTRODUKSI

            Yang paling dikenal sebagai tiga penyebab klasik kematian ibu disamping infeksi dan preeklampsia adalah perdarahan. Perdarahan pasca persalinan (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya.dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. (1,2.3,4). PPP bila tidak mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.(1,5). Dengan berbagai kemajuan pelayanan obstetri di berbagai tempat di Indonesia maka telah terjadi pergeseran kausa kematian ibu bersalin dengan perdarahan dan infeksi yang semakin berkurang tetapi penyebab eklampsi dan penyakit medis non kehamilan semakin menonjol (6)
            Definisi PPP adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosa lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit) maka penanganan harus segera dilakukan. 
            Efek perdarahan terhadap ibu hamil tergantung pada volume darah saat ibu hamil, seberapa tingkat hypervolemia yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin sebelumnya. Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta fasilitas transfusi darah yang masih terbatas menyebabkan PPP akan menganggu penyembuhan pada masa nifas, proses involusi dan laktasi(1,2,7). PPP bukanlah suatu diagnosis  akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausanya. Misalnya PPP karena atonia uteri, PPP oleh karena robekan jalan lahir, PPP oleh karena sisa plasenta atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan pada PPP bisa banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit sedikit tanpa henti.

Sebagai patokan, setelah persalinan selesai maka keadaan disebut “aman” bila : kesadaran dan tanda vital ibu baik, kontraksi uterus baik dan tak ada perdarahan aktif/merembes dari vagina. 

            Pada awalnya wanita hamil yang normotensi akan menunjukkan kenaikan tekanan darah sebagai respon terhadap kehilangan darah yang terjadi dan pada wanita hamil dengan hipertensi bisa ditemukan normotensi setelah perdarahan. Pada wanita hamil dengan eklampsia akan sangat peka terhadap PPP, karena sebelumnya telah terjadi defisit cairan intra-vaskuler dan ada penumpukan cairan ekstra-vaskuler,  sehingga perdarahan yang sedikit saja akan cepat mempengaruhi hemodinamika ibu dan perlu penanganan segera sebelum terjadinya tanda tanda syok. (1,8)
            PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi lahir. (5)

Kausanya dibedakan atas :(1, modifikasi)

  • Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. hipotoni sampai atonia uteri
    -    akibat anesthesi
    -    distensi berlebihan (gmelli, anak besar, hidramnion)
    -    partus lama, partus kasep
    -    partus presipitatus / partus terlalu cepat
    -    persalinan karena induksi oksitosin
    -    multi-paritas
    -    korioamnionitis
    -     pernah atonia sebelumnya
b.      sisa plasenta
    -     kotiledon tersisa
    -     plasenta susenturiata
    -     plasenta accreta, increta, percreta
    1.     
  • Perdarahan karena robekan
    -     episiotomi yang melebar
    -     robekan pada perineum, vagina dan serviks
    -     ruptura uteri

  • Gangguan koagulasi
-         Jarang terjadi  tetapi bisa memperburuk keadaan diatas ( misalnya pada kasus  thrombophilia ,  sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, emboli air ketuban dan lain lain)

            Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. dan, dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri.
PPP sekunder, yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
            Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah darah yang hilang. Perdarahan yang aktif dan merembes terus dalam waktu lama saat melakukan prosedur tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan dengan  keadaan pra persalinan (1).

ATONIA UTERI

            Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah anak dan plasenta lahir.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
  • Melakukan secara rutin manajemen aktif kala 3 pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri.:
  • Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir

Faktor predisposisinya adalah:

  1. regangan rahim berlebihan karena kehamilan gmelli, polihidramnion atau anak terlalu besar
  2. kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
  3. kehamilan grande-multi para
  4. ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit menahun.
  5. mioma uteri yang menganggu kontraksi rahim
  6. infeksi intra uterine (korioamnionitis)
  7. ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya

DIAGNOSIS

            Diagnosis ditegakkan, bila setelah anak dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis maka pada saat itu juga masih ada darah sejumlah 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah akan tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti..

TINDAKAN

            Jumlah perdarahan yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis atau sampai syok berat hypovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan tergantung pada keadaan klinisnya. Secara lengkap dapat dilihat pada Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal, JNPKKR-POGI Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ,2002 (9) dan Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta 2002 (10).
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal hal sebagai berikut :(1,9,10,11,12,13,14,15)
  1. sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen.
  2. sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
    • masase fundus uteri dan merangsang puting susu
    • pemberian oksitosin dan turunan ergot secara im , iv atau sc.
    • Memberikan derivat prostaglandin F2alpha (carboprost tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan takikardia.
    • Pemberian misoprostol 800 – 1000 ug  per-rektal
    • kompresi bimanual eksternal dan atau internal
    • kompresi aorta abdominalis
    • pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.
    • catatan : tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan.
  3. bila semua tindakan itu gagal maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi. Alternatifnya  berupa:
·        ligasi arteria uterina atau  arteria ovarica
·        operasi ransel B Lynch
·        supra vaginal histerektomi
·        total abdominal histerektomi

ROBEKAN JALAN LAHIR

            Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi  atau karena versi ekstraksi..
             Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfinkter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan urethra dan bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.  Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intra abdominal (hal ini dibahas di bab lain).
Semua sumber perdarahan yang terbuka harus di klem dan diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut  lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
            Teknis penjahitan memerlukan asisten, anesthesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tak kooperatif maka perlu mengundang sejawat anesthesi untuk ketenangan dan keamanan melakukan hemostasis.

RETENSIO PLASENTA (1,9,10,15)

            Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan karena adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta accreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, dan disebut sebagai plasenta increta bila plasenta sampai menembus miometrium dan plasenta percreta bila villi korialis sampai menembus perimetrium.
            Faktor disposisi terjadinya plasenta accreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang dan multi-paritas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus diebut : rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manuil, meskipun kala uri  belum lewat setengah jam.
            Sisa plasenta/rest placenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manuil atau menemukan adanya kotiledon yang tak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih adanya perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit  Untuk itu harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara manuil/digital atau kuret dan pemberian uterotonika . Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberikan trasfusi darah sesuai keperluannya..

INVERSI UTERUS (1,9,10,15)

            Kegawat daruratan pada kala tiga yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.
            Faktor faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar dan adanya kekuatan yang manarik fundus kebawah (misalnya karena plasenta accreta, increta dan percreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan intra-abdominal yang keras dan tiba tiba (misalnya batuk keras atau bersin).

Melakukan traksi umbilikus pada pertolongan aktif kala tiga dengan uterus yang masih atonia memungkinkan terjadinya inversio uteri.

Inversio uteri ditandai dengan tanda tanda : :
  • syok karena kesakitan dan
  • perdarahan banyak bergumpal
  • di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat.
  • Bila kejadiannya baru terjadi maka prognosa cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis dan infeksi..

TINDAKAN

            . Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut (selanjutnya lihat Buku Panduan dan Buku Pedoman) (9,10)

  1. memanggil bantuan anesthesi dan memasang infus untuk cairan / darah pengganti dan pemberian obat.
  2. beberapa senter memberikan tocolytic/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi dengan manuil yaitu mendorong endometrium keatas masuk kedalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan semasih plasenta sudah terlepas atau tidak.
  3. Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manuil dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.
  4. pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
  5. intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan manuver diatas tak bisa dikerjakan maka dilakukan laparatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.


PERDARAHAN KARENA GANGGUAN PEMBEKUAN DARAH (1,9,10,15)

            Kausa PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung dan lain lain.

            Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang , thrombositopenia, terjadi hypofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protrhombin dan PTT (patial thromboplastin time).
            Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban dan sepsis.
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, thrombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid).


ASPEK PENCEGAHAN (1,9,10,15)

            Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi  pelayanan ibu hamil saat perawatan ante natal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Tetapi pada saat proses persalinan maka semua kehamilan mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca persalinan.  Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk :
  1. persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia dan lain lain sehingga saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal
  2. mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan.
  3. persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam  dan penceggahan partus lama
  4. kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
  5. kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun
  6. menguasai langkah langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.



KEPUSTAKAAN

  1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD.(editors). Williams Obstetrics, 22 nd ed New York McGraw-Hill; 2005; Chapter 35 Obstetrical Hemorrhage : 810-48
  2. Karkata  MK, Mayura M. Kematian ibu bersalin di RSUP Sanglah Denpasar (tinjauan selama tiga tahun 1993-1995). Majalah Kedokteran Udayana 1996, 93: 180-5.
  3. Simanjuntak T, Kaban RM, Hutabarat H. Kematian maternal di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan 1990-1994. Buku abstrak Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan IX, Surabaya, 2-5 Juli 1995: 252.
  4. Suyanto E, Hakimi M. Kematian maternal di RSUD Purworejo 1990-1995. Maj Obstet  Indones 2000; 21: 3-6
  5. Li X.F., Fortney J.A., Kotelchuck M, Glover L.H. The post partum period : The key to maternal death. International Journal of Gyenecology & Obsterics 54 (1996) : 1-10
  6. Karkata  MK. Pergeseran Kausa Kematian Ibu Bersalin di RSU Sanglah Denpasar, Selama Lima Tahun, 1996-2000. Maj Obstet Ginekol Indones, 2006; 30: 175-8
  7. Sanghvi H, Wiknyosastro G, Chanpoing G, et al . Prevention of post partum hemorrhage study : West Java, Indonesia. Baltimore,MD; JHPIEGO;2004.
  8. Zeeman GG, Cunningham FG: Blood volume expansion in women with antepartum eclampsia. J Soc Gynecol Investig 9;112A,2002.
  9. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Saifuddin A.B.(ed).JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002 : 173-81.
  10. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Saifuddin A.B.(ed). Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, JNPKKR-POGI, Jakarta 2002.: M-25-32.
  11. Abdel-Aleem H, El Nashar I, Abdel Aleem A: Manajemen of severe post partum hemorrhage with misoprostol. Int J Gynaecol Obstet 72:75, 2001
  12. B-Lynch CB, Coker A, Laval AH, et al: The B-Lynch surgical technique for controll of massive postpartum hemorrhage; An alterenative to hysterectomy? Five cases reported. Br J Obstet Gynaecol 104; 372, 1997.
  13. Goldberg AB, Greenberg MG, Darney PD. Misoprostol and pregnancy. New England Journal of Medicine, 2001; 344(1):38-41.
  14. O’Brien P, El-Refaey H, Gordon A, Geary M, Rodeck CH. Rectally administered misoprostol for the treatment of post partum hemorrhage unresponsive to oxytocin and ergometrine : a descriptive study. Obstetrics and Gynecology, 1998;92(2):212-214.
  15. WHO, 2000. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth : A guide for midwives and doctors. Vaginal bleeding after childbirth : S 25-34.


  • * * * *























Tidak ada komentar:

Posting Komentar