Selasa, 05 Juni 2012

Etika & Profesionalisme


ETIKA & PROFESIONALISME

Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)
Ketua Majelis P2K IDI Wilayah Bali


            Setelah lulus menjadi dokter maka pada umumnya semuanya ingin segera mempraktikkan ilmu kedokterannya untuk mengabdikan profesi serta sekalian hidup darinya. Asal kata profesi ada kaitannya dengan profiteri; yang menyatakan bahwa seseorang kompeten ; prosesus; berarti ada ikatan dengan janji atau sumpah , suatu ikatan bathin untuk melakukan pekerjaan sebaik baiknya. Dalam kata ”profesi”  juga terkandung unsur-unsur : bahwa seseorang telah memiliki kompetensi ilmu tertentu; bertanggung jawab terhadap klien dan mempunyai organisasi yang mengatur anggota profesi serta mempunyai kode etik sebagai pemandu dalam melakukan pekerjaannya. Didalam profesi juga ada makna: mempurnyai kemurnian niat ; kesanggupan untuk bekerja keras dan selalu bersikap cermat, rendah hati karena ingin mengabdi dan mempunyai integritas ilmiah dan sosial yang tinggi.
            Dalam melakukan tugasnya seorang dokter harus memperhatikan prinsip prinsip dasar etika yaitu : beneficence ; non-maleficence ; justice (berkeadilan) dan menghargai hak autonomy pasien. Sebagai suatu nilai , maka ETIKA akan bisa berubah dinamis sesuai dengan perubahan yang ada di dunia dan di masyarakat lingkungannya yang terjadinya secara perlahan. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, serta  perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh pendidikan dan lingkungan akan mempengaruhi etika serta pengambilan keputusan klinik.
Proses untuk menjadi dokter profesional tidak mudah dan akan melalui perjalanan yang panjang. Seharusnya dimulai dari perekruitan anak didik yang semestinya mempunyai tabiat mengedepankan altruisme , menomor duakan kepentingan pribadi atau kepentingan lain. Dalam proses pendidikannya harus  memenuhi isi kurikulum tentang penguasaan ranah cognitive , skill dan attitude/affective dan setelah lulus harus mendapat pembinaan dari organisasi IDI.
            Sesungguhnya ketika seorang dokter akan melakukan praktiknya otomatis dia sudah terikat oleh rambu rambu berupa : sumpah dokter; kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki); UU Kesehatan 23/1992; UU Praktik Kedokteran 29/2004 ; PerMenkes/ aturan KKI dan MKDKI serta tidak melupakan faktor lingkungan tempat mereka praktik berupa faktor agama, adat-budaya setempat dan kontrol dari hati nuraninya sendiri. Menguasai soft skills , akan memudahkan seorang dokter melaksanakan hard skillnya berupa: ketrampilan klinis membuat diagnosis , dari mulai melakukan anamnese , pemeriksaan penunjang; diagnosis banding; kemampuan penanganan kedaruratan medik serta persiapan untuk melakukan konsultasi atau rujukan.
            Dalam keterbatasannya juga hasil pekerjaan dokter selalu penuh dengan ”uncertainties” karena ada faktor faktor : perjalanan penyakitnya sendiri, adanya risiko melekat medis dan tindakan bedah; kemungkinan adanya efek samping atau penolakan/alergi; kesalahan medis atau kecelakaan non medis apalagi kalau ada unsur malpraktik. Oleh kerena itu kedepan peranan informed consent menjadi sangat penting. Berbeda dengan dulu maka setiap terapi medis, (apalagi) tindakan bedah harus diinformasikan lebih dulu  dengan complete, correct dan clear dan baru boleh dilakukan setelah mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien. Timbulnya sengketa medis akan berpeluang berlanjut menjadi masalah hukum terutama karena adanya ”orang ketiga” yang membuat persoalan menjadi lebih rumit. Sengketa medik adalah bentuk ketidak-puasan pasien yang bisa berasal dari faktor medis maupun non medis. Misalnya karena : hasil  tak sesuai dengan harapan , tak memuaskan, ada komplikasi atau kecacatan atau kematian atau adanya dugaan dokter telah melakukan malpraktik. Meskipun kata ”malpraktik” tidak ada dalam hukum Indonesia tetapi disitu ada pasal tentang ”ganti rugi karena kesalahan orang lain”. UU Praktik Kedokteran No 29 /2004 telah menyebutkan 28 butir yang disebut sebagai ”pelanggaran disiplin kedokteran”. Pelanggaran terhadap butir butir itu bisa diadukan dan berpeluang untuk dilakukan penilaian: apakah ada pelanggaran etik, ada pelanggaran disiplin atau bahkan ada pelanggaran hukum. Semuanya akan dikaji dan dibahas sesuai dengan bidang kesalahan yang dibuatnya.
            Ketika seseorang berusaha mempertahankan etika dokter dan bertindak profesional sering mengalami tantangan interna dan eksterna. Tantangan interna berupa : praktik substandar, gagal dalam penerapan etika; kegagalan self regulation dan faktor eksterna yang bisa berupa : komersialisasi profesi , desakan hedonisme , konsumerisme , hukum dan lain lain. Fakta kedepan jumlah dokter akan semakin banyak yang berakibat bisa menimbulkan persaingan positif dan negatif; ketidak-pastian upaya kedokteran, makin berkurangnya figur panutan, berkurangnya kontrol individu dan lingkungan, tekanan materialisme dan hedonisme serta kemajuan iptekdok yang semuanya berujung pada pelayanan kedokteran biaya tinggi. 

KESIMPULAN .

Untuk menjadi dokter profesional berpeganglah pada hal hal dibawah ini :
      -      selalu memegang sumpah dan etika kedokteran sebagai pemandu
-          Mempunyai kompetensi : cognitive ; skill ; affective profesi dokter
-         ”the health of patients should be our first consideration”
-          beneficence  = pro bono pasien , semuanya untuk kepentingan pasien
-          Non mal-ficence ; primum non nocere ; do no harm
-          Adil dan menghargai otonomi pasien
-          Lakukan karena memang ada : INDIKASI
-          Berikan informasi yang : 3 C
-         Berikan waktu untuk berfikir
-          Buat kesepakatan Informed Consent  ( bisa verbal / non verbal dan tertulis)
-          Kemudian lakukan dengan lege artis : teliti, hati hati dan bertanggung jawab
-         Selalu BERDOA sesuai keyakinannya.


* * *


** Denpasar :17 September 2011
     Seminar Sehari Continuing Profesional Development Bagian / SMF Radiologi
     Fk Unud / Rsup Sanglah ; Gedung Theater Widya Saba FK Udayana  
     Kampus Sudirman. Denpasar

BAGAIMANA MENGHENTIKAN TERORIS?

Kita harus sepakat NKRI  adalah nomor satu, UUD 45 dan Panca Sila menjadi dasar negara dan way of life cara berfikir kita menyelesaikan persoalan bangsa. Bila ada kelompok yang bertindak bertentangan dengan nilai diatas , pertama dilakukan pendekatan musyawarah dari lunak sampai tegas dan keras keras , demi kepentingan negara dan bangsa yang lebih luas. Kita melawan PERBUATAN YANG SALAH, siapapun yang melakukan itu tidak peduli pada agamanya, etnisnya atau  status sosialnya. Jangan membiarkan agitasi lewat ceramah agama biarpun oleh ulama sekalipun. Kita dapat merasakan mana ceramah agama yang memberi rasa teduh dan mana pula yang mengompori kelompok sendiri untuk memancing provokasi. Kelompok besar harus mengutuk tindakan kelompok kecil yang mengatas namakan agamanya tetapi sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Sebagai contoh karena penulis beragama Hindu, andaikata ada teroris yang tertangkap kebetulan beragama Hindu  (bisa saja terjadi, kalau kita sepakat bahwa terorisme bukanlah persoalan agama) maka saya akan menghimbau lembaga formal dan organisasi yang bernafaskan Hindu agar mengutuk perbuatan teroris itu dan meminta maaf pada kelompok masyarakat yang menjadi korban. Tidak akan membuat gerakan Pembela Hindu akan tetapi akan membentuk Pembela Kebenaran yang membela siapapun , termasuk yang beragama lain, kalau mereka itu benar. Selanjutnya biarlah polisi mengusutnya dan menyelesaikannya lewat jalur hukum dan tidak perlu demo ke pengadilan apalagi dengan cara kekerasan, sebab dengan cara itu sesungguhnya polisi dan aparat hukum sudah dapat menebak "siapa calon teroris" berikutnya. Kalau negara kuat , dalam arti berani , maka mestinya tidak sulit . Takut pada "preman" maka dimana harga diri pemerintahan kita ???  Dan sesungguhnya sebagian besar penduduk Indonesia merindukan hal semacam itu, hukum harus ditegakkan , supaya lain kali .... jangan lagi ada orang demo .... memakai kerbau yang besar dan bertanduk hebat ... tetapi jalannya .. glinak ... glinuk ... menggemaskan ...

penanganan sepsis maternal


PENANGANAN SEPSIS MATERNAL

Made Kornia Karkata
Divisi Fetomaternal Bagian / SMF Obstetri Ginekologi
FakultasKedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar.

Abstrak.

            Meskipun di Indonesia sudah terdapat penurunan angka kematian ibu (AKI) karena sebab infeksi akan tetapi WHO masih menyatakan bahwa sepsis merupakan salah satu dari lima penyebab kematian ibu terutama di negara sedang berkembang. Sepsis meternal merupakan salah satu kegawatan obstetri yang sangat fatal. Infeksi yang tidak ditanggulangi akan berkembang menjadi bakteremia, sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS), severe sepsis dan syok septik yang berakibat kematian ibu.  Infeksi di bidang obstetri misalnya karena: korioamnionitis, post partum endometritis , aborsi septik, infeksi luka episiotomi dan seksio sesaria  serta akibat prosedur invasif penyebab necrotizing fasciitis,, pengikatan servix (cerclage) serta amniosentesis atau akibat toxic shock syndrome. Infeksi bisa juga berasal dari faktor non-obstetri seperti adanya radang apendiks, kholesistitis, infeksi saluran kemih pielonefritis dan pneumonia. Diagnosis sepsis sudah boleh ditegakkan bila ada faktor predisposisi infeksi dan ditemukan minimal dua kriteria SIRS. Manajemen sepsis menyangkut pendekatan tim multidisiplin yang agresif dalam waktu cepat yang melibatkan keahlian fetomaternal, perawatan intensif, ahli anasthesi dan farmasi. Kecepatan melakukan tindakan secara agresif sangatlah penting, golden period nya adalah dalam waktu 6 jam pasien harus sudah mendapatkan penanganan yang cukup dengan didahului pemberian cairan yang cukup serta antibiotika yang tepat. Selanjutnya dilakukan perawatan di ruang intensif dengan pemberian cairan intra vena, peningkatan pemberian oksigen, pemberian obat  vasopresor, obat obat inotropik, kalau perlu tranfusi darah, pemberian ventilasi mekanik dan pemakaian kateter arteri disertai dengan monitoring yang ketat. Pemeriksaan laboratorium yang lengkap harus dikerjakan, termasuk untuk mencari sumber dan jenis infeksi dengan pemeriksaan darah, urin, dahak, sekresi luka atau cairan amnion serta menguji sensitivitasnya terhadap antibiotika.  Agar dihindarkan keadaan yang ”Early Under Treatment and Late Over Treatment” sebab bila pasien sudah jatuh ke dalam MOD dan MOF maka mortalitasnya sangat tinggi dengan menghabiskan banyak biaya. Kalau perlu dapat dilakukan evakuasi sumber infeksi dengan tindakan pembedahan berupa kuret, drainase abses, eksisi jaringan nekrotis bahkan sampai histerektomi.

Kesimpulan : Sepsis maternal merupakan salah satu kegawatan obstetri yang sangat fatal yang memerlukan penanganan intensif yang cepat dan adekuat. Sumber infeksi bisa berasal dari sebab obstetri dan non obstetri. Sumber infeksi non obstetri harus dicari pada saat ante natal dan segera diberi pengobatan adekuat dengan antibiotika yang aman buat fetus. Infeksi yang terjadi saat hamil atau persalinan maka bayi harus segera dilahirkan sesuai dengan indikasi dan persyaratannya. Pada saat persalinan diawasi dengan partograf WHO untuk mencegah partus kasep dan penolong melakukan universal precaution, dan mengurangi tindakan yang manipulatif yang dapat menyebabkan robekan, perdarahan serta mudah terpapar infeksi. Penanganan multidisiplin dengan diagnosis akurat yang cepat, terapi suportif yang adekuat, serta pemilihan anti biotika yang rasional, evakuasi sumber infeksi serta monitoring yang ketat di ruang intensif akan mempengaruhi hasil keluaran sepsis maternal.

Kata kunci : sepsis maternal ; manajemen

 

MATERNAL SEPSIS MANAGEMENT

Made Kornia
Karkata
Division of Fetomaternal / Departement of Obstetrics Gynecology
Medical Faculty of Udayana / Sanglah Hospital, Denpasar.

Abstract.

While in Indonesia have been found decline in maternal mortality rate (MMR) because of infection but the WHO is still stating that sepsis is one of the five causes of maternal mortality especially in developing countries. Sepsis is one of the serious fatal obstetrics emergency.  Infections that are not appropriately addressed will develop into bacteriemia, sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS), severe sepsis and septic shock that resulted in maternal deaths. Infection in the field of obstetrics such as: chorioamnionitis, postpartum endometritis, septic abortion, wound infection and episiotomy and cesarean section due to invasive procedures causing necrotizing fasciitis, cervix cerclage and amniocentesis or due to toxic shock syndrome. Infection can also come from non-obstetric factors such as acute appendicitis, cholecystitis,  pyelonephritis, urinary tract infection and pneumonia. The diagnosis of sepsis is based on evidence of predisposing factors of infection and found at least two SIRS criteria. Management of sepsis involving a multidisciplinary team approach which is aggressive and quick time response involving fetomaternal expertise, expert in intensive care, anaesthesiologist and pharmacies. Speed ​​to act aggressively is very important, since golden period was within 6 hours the patient should have gotten adequate fluids and appropriate antibiotics. Furthermore, treatment should be continued in intensive care unit with intravenous fluid administration, increasing oxygen delivery, vasopressor drug and, inotropic drugs delivery, blood transfusion administration, provision of mechanical ventilation and the use of arterial catheters as well as close monitoring. The serial  laboratory examination is mandatory, including to seek the source and type of infection by blood tests, urine, sputum, wound secretions or amniotic fluid and tested its sensitivity to antibiotics.Always trying to avoid circumstances that "early under-treatment and late over-treatment" because if the patient had fallen into the MOD and MOF, the mortality is very high with spending a lot of cost. If  necesarry to do evacuations source of infection by applying curette surgery, drainage of abscesses, excision of necrotic-tissue or even to do hysterectomy..

Conclusion: Maternal sepsis is one of the most fatal obstetric crisis that requires quick and adequate intensive treatment. The source of infection can be derived from obstetric and non obstetric causes. Sources of non-obstetric infections should be sought at the time of ante natal
care and immediately given adequate antibiotic treatment which is safe for the fetus. Infections that occur during pregnancy or childbirth, the baby should be born in accordance with the indications and requirements. At the time of delivery the helper always practice universal precaution and apply partograph assesment, and reduce the manipulative actions that can cause tearing, bleeding and condition easily exposed to infection. Handling multidisciplinary with a rapid accurate diagnosis, aggressive supportive therapy is adequate, and the selection of a rational antibiotics, evacuation source of infection and close monitoring in intensive care will affect the outcome of maternal sepsis.

Keywords: maternal sepsis; management





Minggu, 22 Januari 2012

LAPORAN AKHIR ISUOG COURSE , KUTA , 2009


LAPORAN AKHIR PENYELENGGARAAN
SYMPOSIUM & 3rd ISUOG ULTRASOUND COURSE
BALI – 2009

            Pada akhirnya setelah melalui perjuangan yang amat sengit dan mendebarkan, campur aduk antara pesimisme dan optimisme , serta melibatkan jaminan bantuan dari Bagian/SMF Obgin maka pada akhirnya , pertemuan yang dimaksud diatas telah berhasil dilaksanakan dengan sukses. Tercatat lebih dari 200 peserta yang berasal dari berbagai kota di tanah air yang hadir sampai saat terakhir dan mereka mendapatkan dua buah sertifikat :
  • sertifikat simposium yang “approved by AOFOG” yang ditanda-tangani oleh Dr Azen Salim ; Prof dr Kornia Karkata (OC) dan  Prof Dr Johanes Mose (HKFM).
  • sertifikat Kursus ISUOG yang ditanda-tangani oleh : Made Kornia Karkata (OC) ; Dario Paladini (ISUOG) dan Johanes Mose (HKFM).

Secara garis besar dapat dilaporkan hal hal sebagai berikut :

  1. pendaftaran peserta agak alot karena kebanyakan melalui peran sponsor dan baru tampak “deras” saat saat terakhi yaitu awal bulan November bahkan sampai saat pembukaan. Tidak diketemukan masalah yang berarti dalam pendaftaran serta pembagian hak hak peserta termasuk pembagian sertifikatnya.
  2. acara pembukaan berjalan tertib dan cukup lancar dengan penataan ruang Kharisma cukup bagus. Semua unsur pemanis tersedia dan terlihat.
  3. semua pembicara dalam negeri untuk mengisi simposium hari pertama , semua bisa hadir dan panitia telah memberikan hak hak nya seperti biaya tiket , hotel serta honor bicara.
  4. perkembangan yang menegangkan adalah saat mengurus visa Prof Achiron yang sampai pada acara pembukaan tgk 19 November 2009 belum bisa diselesaikan dan akhirnya batal dan Tim ISUOG terdiri atas Dario Paladini , Prof George Yeo dan Prof Wong. Yang menjadi masalah adalah pembiayaan yang sangat besar untuk klas bisnis.
  5. Tim ISUOG baru tiba pada tanggal 19 November malam yang segera dilakukan “faculty meeting” untuk cek ruangan serta membahas detil acara esok harinya. Acara lancar dan mereka puas pada detil pengaturan ruangan serta ruang demo.
  6. dengan moderator Prof Mose dan dr Azen Salim , maka acara hari 2 dan 3 serta “live demo” nya berhasil dengan sukses dan kebetulan ada satu kasus dengan ibu hamil dengan bayi cacat jantung. Presentasi dan diskusi hidup dan masih dihadiri oleh 75% peserta sampai sore hari.
  7. acara rehat kopi dan makan siang , berjalan sangat lancar apalagi ada Ruang Makan khusus (diblokir) untuk seluruh peserta ISUOG. Banyak pujian untuk ketertiban dan kelancaran sesi ini. Makanan cukup melimpah.
  8. Acara makan malam untuk pembicara hari pertama dan ISUOG pada tgl 20 November 2009 di Restoran Pantai Centro cukup memuaskan para tamu. Dibicarakan secara formal tentang penataan kedepan kursus USG dari ISUOG belajar dari pengalaman Bali kali ini. Tim ISUOG , dr Azen , Prof Mose , Prof Kornia , dr Judi mengapresiasi pertemuan yang sedang berlangsung.
  9. acara terakhir serta penutupan berlangsung sesuai dengan jadwal dan ditutup oleh Prof Kornia setelah memberikan kenang kenangan pada semua Tim ISUOG.
  10. pameran , meskipun pesertanya terbatas tetapi tertata rapi dan peserta menyatakan kepuasannya.
  11. Laporan detil dari masing masing seksi tercantum dalam lampiran yang disertakan bersama laporan ini.
  12. yang paling penting : ACARA BERJALAN DENGAN SUKSES TIDAK RUGI SEHINGGA TIDAK MEMBEBANI DIVISI DAN BAGIAN OBGIN.
  13. Ucapan terima kasih pada Kepala Bagian Obgin , seluruh anggota panitia serta staf sekretariat yang telah bekerja keras untuk menyelenggarakan pertemuan ini.

Rekomendasi :
  • sebelum mau ditunjuk sebagai penyelenggara perlu memikirkan : siapa calon peserta  yang akan hadir ? , apakah bersamaan dengan “event” lain yang sejenis ? atau ada yang lebih menarik di kota lain? Apakah kira kira akan didukung oleh sponsor yang akan berhitung berapa jumlah SpOG yang potensial hadir?
  • untuk kursus USG maka Pokja POGI dan HKFM harus berhitung dan merencanakan  mana kursus yang masuk kategori : “should be done” dan mana kursus yang masuk kategori “nice to be done”
  • untuk diketahui bahwa sponsorship sangat “menurun” karena terlalu seringnya dilakukan kegiatan sejenis dan orangnya itu itu saja yang hadir , yang nota bene akan minta bantuan pada sponsor .
  • Nama Bali memang masih menarik tetapi kalau kegiatannya “khusus” dan hanya diminati oleh orang orang “yang khusus” pula maka pesertanya terbatas ; sponsor tak minat dan biayanya menjadi tinggi sehingga biaya registrasi akan terlalu mahal.
  • sebaiknya kursus USG dilakukan bersamaan dengan PIT atau Kongres sehingga peserta pasti lebih banyak.
  • perhitungan biaya harus lebih ketat dan kedepan harus berorientasi pada : biaya sendiri yaitu besarnya : uang registrasi dan menghilangkan acara “foya-foya” kecuali total didukung sponsor.

Demikian laporan kami yang dilengkapi dengan laporan seksi seksi dan melalui kesempatan ini sekali lagi saya sebagai Ketua OC mengucapkan banyak terima kasih pada seluruh jajaran Panitia , staf, residen, tim skretariat dari Bagian Obgin, pihak travel Sari Bali Convex serta perwakilan hotel Discovery Kartika Plaza atas kerjasamanya dan sekalian mohon maaf atas segala hal yang kurang berkenan dihati. Semoga yadnya ini memberikan nilai tambah pembelajaran buat kita serta mendapat pahala yang setimpal.

Denpasar : 1 Desember 2009

Ketua panitia


Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)

BERBAGAI MODALITAS PERSALNAN


BEBERAPA PILIHAN CARA BERSALIN

Prof Made Kornia Karkata, SpOG(K)
* Penasihat IBI Denpasar
** Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
*** Penasihat Divisi Feto-Maternal Bagian Obstetri Ginekologi
FK Udayana , Denpasar


** seminar dalam rangka HUT IBI 60 – Hari Kartini – Hari Bidan se-Dunia  oleh Panitia HUT IBI Propinsi NTB , 26 Juni 2011.

PENDAHULUAN ( 1, 2 , 3)

            Kehamilan bisa mengalami kejadian : abortus; lahir prematur (spontan maupun buatan); kematian janin dalam kandungan dan sebagian besar akan mengalami kelahiran spontan aterm dan hanya sedikit yang mengalami kehamilan lewat waktu. Ketika umur kehamilan mencapai sembilan bulan maka secara alamiah akan diikuti oleh proses persalinan. Banyak teori yang menerangkan tentang inisiasi terjadinya persalinan. Ada teori peregangan uterus, ada teori progesteron-oxytocin; teori pelepasan prostaglandin. Secara alamiah mulai pada umur kehamilan 30-32 minggu rahim sudah mulai adanya kontraksi Braxton Hicks untuk membentuk segmen bawah rahim (SBR) yang dindingnya menipis dan kurang kontraktil yang amat berbeda dibandingkan dengan segmen atas rahim (SAR) yang ototnya tebal yang berguna untuk kontraksi saat persalinan. Persalinan mulai ditandai oleh adanya his yang teratur semakin kuat, sering dan lama dan disertai dengan penipisan dan pembukaan leher rahim.
            Lancar tidaknya proses persalinan ditentukan oleh faktor faktor : power ; passage dan passanger serta manajemen persalinan oleh penolong. Berdasarkan itu akan bisa terjadi persalinan normal /lancar (eutocia) dan persalinan yang mengalami hambatan atau kemacetan (dystocia). Pada umumnya yang eutocia akan lahir spontan per-vaginam sedangkan persalinan yang mengalami dystocia, tergantung penyebabnya  bisa dilakukan pembenahan dan bisa lahir pervaginam dengan spontan atau memakai alat bantuan (assisted vaginal delivery) atau terpaksa dilakukan tindakan sectio cesarea.
Disamping cara tersebut sekarang berkembang cara persalinan yang disebut : VBAC vaginal birth after cesarean), persalinan dengan epidural analgesia ; water birth dan Lotus birth. Penanganan bayi dan ari-arinya bisa secara biasa yaitu dipisahkan atau cara Lotus birth , tali pusat tak dipotong dan dibiarkan bersama plasenta sampai saatnya copot sendiri pada hari 5 – 8 pasca persalinan. Ada perawatan khusus terhadap ari-arinya.

PERSALINAN SPONTAN (EUTOCIA) ( 1,2)

            Hampir 70 – 80% kehamilan akan mengalami persalinan spontan per-vaginam dan sisanya akan mengalami patologi dan bisa dilahirkan lewat vagina dengan bantuan (assisted vaginal deliveries) dalam bentuk : vakum ekstraksi ; forceps ekstraksi; versi ekstraksi pada letak sungsang serta bantuan melahirkan bayi yang sudah mati akibat persalinan kasep. Untuk terjadinya persalinan diperlukan adanya power yang kuat berupa his dan tenaga mengedan ; adanya passage, jalan lahir yang cukup lebar ; dan passanger atau bayi yang besarnya; letaknya ; presentasinya normal. Bayi dengan posisi letak sungsang; letak lintang; letak ekstensi kepala, bayi dengan penempatan ganda pastilah akan menyulitkan persalinan. Proses persalinan normal dimulai dengan : penurunan kepala ; masuk dalam cavum pelvis ; adanya putar paksi dalam ; ekspulsi kepala dan putar paksi luar dan diikuti kelahiran bahu, bokong dan seterusnya.

PERSALINAN PATOLOGI ( 1,2,3)

            Biasanya terjadi karena ada hambatan dalam persalinan (dystocia) yang bisa ditandai dengan memanjangnya fase persalinan. Perpanjangan bisa terjadi dalam bentuk : prolonged latent phase ; protracted active phase ; secondary arrest ; atau perpanjangan pada kala dua (kala dua lama = prolonged second stage) atau yang terburuk telah terjadi persalinan kasep (neglected labor) yaitu persalinan lama yang disertai dengan komplikasi pada ibu dan anak. Kalau evaluasi persalinan memakai partograph maka perpanjangan persalinan mulai ada ketika garis pembukaan memotong/melewati garis waspada (alert line) atau (apalagi) melewati garis tindakan (action line). Semakin terjadi dystocia / persalinan lama ini akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal. Pendekatan obstetri modern akan dinilai berdasarkan kemampuan institusi untuk menekan angka kematian ibu dan perinatal serendah rendahnya. Dalam situasi ini kita di Indonesia masih tertinggal dari negara Asean sekalipun.
            Bila terjadi dystocia maka penyelesaiannya tergantung 3 P sebagai kausanya. Kalau karena his yang kurang adekuat maka dapat diberikan medikamentosa untuk memperbaiki his atau bila tak kuat mengedan bisa dilakukan vakum atau forceps sesuai indikasinya atau bila penyebabnya faktor bayi dan panggul yang tak bisa dikoreksi sehingga persalinan pervaginam tidak memungkinkan atau dinilai terlalu berbahaya, maka dilakukan tindakan operatif seksio sesarea.

PERSALINAN INDUKSI / PENGUATAN KONTRAKSI RAHIM (1,2)

            Dikerjakan pada inertia uteri primer, yaitu sejak awal persalinan his kurang baik atau tidak ada karena berbagai sebab. Persyaratan mutlak haruslah tidak ada kontra-indikasi. Kontra indikasinya adalah : panggul sempit ; bayi besar atau salah letak ; cephalo-pelvic disproportion (CPD) ; bekas seksio sesarea; plasenta previa dan beberapa kontraindikasi relatif seperti : anak mahal ; bayi tabung dan lain lain. Persyaratan lain adalah mempunyai sistem pengawasan yang ketat oleh karena perangsangan ini bisa menyebabkan : tetania uteri ; RUI (ruptura uteri imminens) ; atau gawat bayi. Medikamentosa yang klasik dipakai adalah oksitosin dan belakangan ini memakai turunan prostaglandin yaitu misoprostol. Keberhasilannya ditentukan oleh skor Bishop dan kemajuan pembukaan serviks serta penurunan kepala bayi. Persalinan induksi hanya untuk merangsang atau memperbaiki his dan tidak selalu diakhiri dengan persalinan spontan pervaginam.

PERSALINAN  ASSISTED VAGINAL DELIVERIES (1,2,3)

            Pada perkembangan obstetri modern maka persalinan ini sudah semakin menurun meskipun tetap masih berharga dilakukan terutama pada kala II yang gagal karena kelemahan faktor mengejan. Pandangan obstetri modern belakangan ini sudah meninggalkan cara partus per vaginam yang sulit / ”heroik” karena berkembangnya kebijakan perinatal yaitu agar selalu melahirkan bayi sehat / vigorious baby. Akan tetapi pada keadaan keadaan tertentu dimana pada kala II dengan kondisi bayi yang baik, kepala bayi sudah kelihatan dan penyebabnya semata karena faktor power yang lemah maka tindakan vakum atau forceps masih tetap diperlukan. Tentu bisa terjadi komplikasi berupa perlukaan jalan lahir serta jejas pada kepala bayi. Oleh karena itu tindakan ini harus dilakukan dengan penuh perhitungan (dokter yakin bisa lahir pervaginam) dan dilakukan dengan cara lege artis. Tindakan vakum atau forceps tinggi sudah mulai ditinggalkan untuk mengurangi morbiditas perinatal kecuali terpaksa dilakukan karena keterbatasan fasilitas operasi. Versi ekstraksi, kelahiran dengan cara memutar dan menarik kaki keluar, sudah ditinggalkan kecuali pada kasus letak lintang pada kelahiran kembar anak kedua.

PERSALINAN SEKSIO SESAREA (SS)  (1,2,3,4,5)

            Memang terdapat kecenderungan meningkatnya angka kejadian SS yang menyebar di seluruh dunia. Dalam waktu 20 tahun (1988) di Amerika angka SS meningkat lima kali menjadi 24,7%. WHO memperkirakan angka kejadian SS antara 10 – 15%  di negara maju. Di Amerika , Inggris dan Kanada angka nya antara 20 %; 22,5% sampai 25% pada tahun 2001 – 2002. Dan di Amerika mencapai 30,2% pada tahun 2005. Di negara berkembang yang paling tinggi adalah di Brazil mencapai 35 % sedangkan di RS swastanya sampai mencapai 80%.  Keadaan yang serupa ditemui pada beberapa RS pemerintah dan RS swasta di Bali.  Di RSUP Sanglah angka kejadian SS meningkat dari 8,06% (1984) ulangan (repeated cesarean section) meningkat dari 48,14% (1984) menjadi 59,09% (1994) dan menjadi 64,89% (2000-2001). Ditemukan peningkatan angka SS baik di RS pemerintah dan RS sawasta. Ditemukan bahwa tindakan konservatif lebih banyak ditemukan di RS pendidikan di banding RS pemerintah lainnya. Dan angka SS di RS swasta ditemukan meningkat lebih tinggi (rerata 51,42% dengan variasi dari 42,26% sampai 73,30% per total persalinan (6,7)

ANALISA KECENDERUNGAN PENINGKATAN SEKSIO SESARIA ( 1,2.3.4,5 )

            Pada awalnya indikasi SS oleh karena distosia mekanis akibat disproporsi feto-pelvik, Peningkatan angka kejadian SS tidak berdiri sendiri. Ada beberapa perubahan yang membuat indikasi tindakan SS semakin lebar. Disamping indikasi absolute karena panggul sempit atau bayi terlalu besar atau kelainan letak sungsang atau lintang maka sejak adanya perkembangan fetus as a patient maka banyak pertimbangan perinatal ikut mempengaruhi. Meningkatnya keamanan tindakan SS sendiri membuat metode ini mudah diterima oleh masyarakat. Perubahan lingkungan di masyarakat serta perkembangan iptekdok perinatal mempengaruhi hal tersebut. Oleh karenanya ada pendapat yang menyatakan bahwa angka SS ini akan tidak sama , dan akan berubah sesuai “nilai” yang berlaku pada jamannya. Faktor nilai yang berubah itu antara lain : penerimaan konsep keluarga kecil, meningkatnya ibu hamil pada umur lebih tua, merebaknya pengawasan elektronik kesehatan janin, perubahan perlakuan terhadap kelahiran letak sungsang ; fakta penurunan pemakaian vakum dan forsep ekstraksi, meningkat ibu hamil yang gemuk, ketakutan akan adanya trauma jalan lahir serta faktor ketakutan pada dokter atas tuntutan hukum bila ada keluaran pelayanan fetomaternal yang tak memuaskan.  Di 10 RS tipe C di Bali (1999-2000) lima penyebab terbanyak tindakan SS adalah : perdarahan ante partum (15%), kelainan letak/sungsang (14%), gawat bayi (12%), post SS (10%), partus lama/kasep (9%), dystosia (7%), ketuban pecah dini (7%). Di RS swasta didapatkan 45% karena sebab “lain-lain” , 23% karena bekas SS.
            SS diindikasikan pada situasi dystocia , adanya kemacetan persalinan dan kelahiran pervaginam tidak memungkinkan. Dari 3 faktor yang penting maka sempitnya jalan lahir (passage)  serta besar dan posisi janin (passenger) sangat berperan sedangkan faktor his (power) masih mungkin diperbaiki dengan pemberian medikamentosa berupa uterotonika. Perjalanan persalinan dengan komplikasi juga bisa merupakan indikasi untuk melakukan SS seperti :
  • Dystocia, persalinan macet menimbulkan partus lama atau partus kasep
  • Kegawatan bayi pada saat pembukaan belum lengkap
  • Tali pusat menumbung
  • Plasenta previa atau solution plasenta
  • Gagal induksi persalinan
  • Gagal trial forseps atau vakum ekstraksi
  • Bayi makrosomia
  • Panggul sempit
Keadaan medis lain yang menyebabkan tindakan SS lebih cepat diambil misalnya :
  • Pre-eklampsia dan eklampsia
  • Hipertensi
  • Beberapa kasus anak kembar
  • Bayi risiko tinggi
  • Ibu dengan HIV atau Herpes genitalis yang sedang aktif
  • Bekas seksio ( masih ada kontroversi)

KOMPLIKASI YANG BISA TERJADI (1,2,3.)

            Semua tindakan pembedahan selalu akan memberikan risiko timbulnya komplikasi meskipun belakangan ini hal tersebut dapat diminimalisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan kajian mendalam terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukannya dan menyampaikannya secara jelas pada pasien dan keluarganya (informed consent).
Meskipun derajat keamanannya semakin meningkat akan tetapi tindakan SS tetap mempunyai risiko: perdarahan ; infeksi ; perluasan perlukaan ; kemungkinan SS berulang ; menyebabkan timbulnya placenta previa serta placenta adhesiva (accreta; increta dan percreta) pada kehamilan berikutnya yang berakibat histerektomi. Belum lagi kalau ada komplikasi anasthesi.  Irisan luar operasi SS bisa secara longitudinal linea mediana atau (yang paling lazim sekarang) dengan cara melintang Pffanenstiehl.
             Risiko pada bayi bisa mengalami neonatal depressi karena efek anastesi atau cedera irisan pisau bedah pada bayi. Keduanya, baik ibu dan bayi, mengalami hospitalisasi lebih lama di RS dan kemungkinan untuk mendapatkan nosokomial infeksi lebih besar. Ibu terlambat melakukan bonding dengan bayinya karena prosedur pasca bedah dan karena masih sakitnya luka operasi.

ELEKTIF SEKSIO SESARIA ( 1,2, 6,7 )

            Belakangan ini ada istilah yang disebut sebagai Cesarean on demands atau Cesarean on request., yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai Elective CS , yaitu tindakan primer SS yang dilakukan pada saat tertentu yang disepakati dengan persiapan operasi yang memadai.  Memang Elective CS bisa disebabkan karena adanya permintaan pasien tetapi juga bisa karena alasan medis tertentu. Kalau jelas ada panggul sempit maka melakukan primer SS pada waktu yang dipilih pastilah sangat menguntungkan. Cara elektif ini mempunyai kelebihan dibandingkan SS dadakan / ditengah adanya kegawat-daruratan oleh karena ada persiapan dengan baik sehingga risiko komplikasi dapat diminimalkan.  Atas pertimbangan adanya otonomi pasien, karena alasan tertentu, ada beberapa konsumen yang meminta dilakukan SS yang sesungguhnya berdasarkan alasan medis masih memungkinkan lahir pervaginam. Atas masalah ini di kalangan medis terjadi pro dan kontra .

VAGINAL BIRTH AFTER CESAREAN (VBAC) ( 1,2, 8,9,10 )

            Meskipun ada trend demikian tetap ada main stream yang tetap menginginkan angka kejadian SS harus diturunkan. Sebagai anggota masyarakat dunia kita sudah menyetujui standar WHO tentang angka SS yang tidak melebihi angka 15% di RS rujukan. Risiko kejadian perdarahan post partum, infeksi puerperalis, SS berulang,  meningkatnya kejadian pasenta previa  dan lain lain lebih tinggi dibandingkan kalau lahir pervaginal. Telah terbukti bahwa secara keseluruhan maka kelahiran pervaginam yang aman memberikan keuntungan lebih banyak dalam hal morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan anak serta dengan biaya yang lebih murah.
            Oleh karena itu ada gerakan yang di mulai tahun 1978 untuk melakukan upaya vaginal birth after cesarean (VBAC) , yaitu memberikan kesempatan lahir pervaginam untuk kasus kasus yang penyebab SS yang dulu tidak permanen. Terjadi peningkatan VBAC terutama tahun 1980 – 1990 ditengah masih gencarnya pro dan kontra VBAC dan elective cesarean.  Belakangan terjadi penurunan implementasi VBAC karena sejak tahun 2004 ACOG (American College of Obstetricians and Gynecologists) mensyaratkan agar pada perlakuan VBAC harus ada tim monitoring ketat dokter yang siap setiap saat, karena kejadian rupture uteri bisa fatal baik untuk ibu dan bayinya.

PERSALINAN DENGAN ANASTHESIA EPIDURAL(1,2, 11 )

            Melahirkan tanpa rasa sakit sudah menjadi biasa di luar negeri. Hampir 50% ibu melahirkan di Amerika Serikat di Rumah Sakit mempergunakan metode ini akan  tetapi belum popular di Indonesia karena harus melibatkan dokter spesialis anasthesi yang jumlahnya masih sedikit. Cara ini sesungguhnya adalah regional anathesia yang khusus memblok rasa nyeri (analgesia) dari bagian tubuh tertentu dengan membiarkan pasien tetap sadar sehingga pasien mengetahui apa yang terjadi saat persalinan. Obat-obatan yang dipakai misalnya bupivacaine, chloroprocaine atau lidocaine. Untuk memperkecil dosis dan memperpanjang efek analgesianya sering dicampur dengan opioid atau narcotics.   Kombinasinya dengan epinephrine, fentanyl, morphine atau clonidine untuk memperpanjang efek analgesianya dan mempertahankan tekanan darah ibu yang melahirkan.
Terlebih dahulu ibu hamil harus sudah inpartu (fase aktif, pembukaan serviks minimal 4 cm) dan diberikan infus cairan yang kemudian dilakukan suntikan lewat tulang belakang (areal lumbo-sacral) dan memasukkan kateter mini dan dibiarkan disana untuk mengatur dosis obat yang diberikan. Dengan kateter mini yang difiksasi ini menyebabkan ibu boleh bergerak bebas tanpa takut terlepas.
Keuntungan pemakaian epidural anesthesia:
·        Mengijinkan pasien untuk merasa rileks, nyaman dan istirahat pada saat proses persalinan .
  • Karena tanpa nyeri maka memberikan pengalaman melahirkan yang menyenangkan.
  • Ibu tetap sadar sehingga tetap bisa partisipasi aktif dalam proses persalinan.
  • Seandainya gagal dan dilanjutkan dengan operasi seksio sesaria, maka hal itu tak menjadi masalah.
Sisi kerugiannya adalah :
  • Dapat menimbulkan penurunan tekanan darah sampai syok.
  • Mengalami nyeri kepala yang hebat.
  • Harus ubah ubah posisi karena dapat menghambat persalinan.
  • Efek samping seperti : menggigil, telinga mendenging, nyeri pada bekas suntikan di bokong belakang, mual sampai muntah sampai gangguan kencing.
  • Kadang menganggu kekuatan mengedan sehingga perlu dilakukan vakum atau forsep.
  • Kaki sering merasa ”tak enak” beberapa jam setelah melahirkan.
  • Dalam keadaan jarang , terjadi kerusakan syaraf pada tempat suntikan.
Biaya persalinan tentu menjadi meningkat karena harus ditangani oleh dua spesialis yang bekerja sama sampai persalinan usai yang sering mengambil waktu sampai 6 – 8 jam.

PERSALINAN DALAM AIR ( WATER BIRTH ) ( 12,13,14 )

            Belakangan ini sedang berkembang cara persalinan dalam air yang dianggap cukup aman untuk ibu dan bayinya dan memberikan keuntungan bisa mengurangi rasa nyeri dan trauma persalinan. Disebutkan bahwa: pengalaman persalinan yang menegangkan, takut, cemas, nyeri akan diubah menjadi pengalaman yang nyerinya berkurang, suka cita , menggembirakan dan lebih nyaman serta dihubungkan dengan nilai spiritual. Ibu hamil aterm tanpa komplikasi bersalin dengan cara berendam dalam air hangat (yang dilakukan dalam bathtub atau kolam) dengan tujuan mengurangi rasa nyeri kontraksi dan memberi sensasi rasa aman. Sampai saat ini himpunan profesi POGI belum memasukkannya water birth sebagai cara pertolongan persalinan resmi dan menyerahkannya sebagai cara persalinan alternative (complementary) yang pelaksanannya diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan antara pasien dan dokter penolongnya. Sejarahnya dimulai di Rusia, Igor Charkovsky melakukan penelitian kemungkinan keuntungan melahirkan dalam air. 
Persayaratan untuk mengikuti metode persalinan ini antara lain:
-         ibu hamil risiko rendah
-         tak mengalami infeksi vagina, saluran kencing dan kulit
-         tanda vital ibu dan bayi dalam batas normal
-         relaksasi dan penanganan nyeri setelah dilatasi serviks 4 -5 cm
-         pasien setuju mengikuti instruksi penolong, termasuk keluar dari kolam air jika diperlukan.
Metode ini sudah dipraktekkan di banyak negara : USA, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jerman, Belanda dan Jepang. Keuntungan untuk ibu yaitu memberikan rasa nyaman karena lebih relaks dan mengurangi rasa nyeri persalinan dan mengurangi episiotomi karena jalan lahir mudah melar sehingga robeknya minimal. Keuntungan untuk bayi  mengalami persalinan yang lebih fisiologis karena bayi sudah terbiasa berendam dalam air ketuban yang relatif suhunya disesuaikan.

PERSALINAN TERATAI  (LOTUS BIRTH) ( 15,16 )

            Sebenarnya ini bukan cara persalinan akan tetapi lebih fokus pada bagaimana memperlakukan placenta yang sudah lahir yang masih berhubungan dengan perawatan bayinya. Praktiknya tali pusat dibiarkan intak tanpa diklem atau dipotong.  Sejarah di balik pelaksanaan metode ini adalah kepercayaan di Tibet, Zen Buddisme dan Hindu yang mempercayai bahwa Budhha Gautama, Padma Shambava dan Wisnu lahir secara utuh, sebagai orang suci. Yang penting disini adalah keyakinan serta kemampuan untuk melaksanakan metode ini secara ketat dan dipenuhi persyaratannya. Ada perawatan khusus supaya plasenta tidak bau, kontaminasi kuman , tidak basah sampai tali pusatnya copot sendiri yang bisa berlangsung 4 – 8 hari.  Plasenta dibiarkan terbuka supaya cepat kering dan tak berbau. Untuk mempercepat pengeringan sering diberikan garam, sejenis minyak berbau lavender, atau bubuk ramuan untuk pembunuh bakterinya.Ketika plasenta menjadi kaku dan keras maka harus diperlakukan hati hati saat memindahkan bayi. Lotus birth ini jarang dilakukan di rumah sakit dan banyak diperaktekkan di persalinan rumah.

 BAGAIMANA SIKAP PROFESIONAL

            Sikap seorang profesional dalam pertolongan persalinan semestinya dipandu oleh etika profesi yang menekankan pada : beneficence ; non-maleficence ; autonomy dan justice.  Sikap yang dinasihatkan atau diambil haruslah untuk kepentingan pasien dan hanya setelah mendapatkan persetujuan pasien semuanya dilakukan dengan cara : lege artis, artinya dilakukan dengan benar, hati hati dan bertanggung jawab. Semua itu bisa diatasi lewat informed consent yang memenuhi unsur : complete, correct and clear. Dan berdasarkan prinsip otonomi maka pasien berhak memilih apa yang terbaik bagi dirinya.
Organisasi profesi POGI belum memasukkan water birth dan lotus birth sebagai standar meskipun metode ini sudah mulai berkembang dan biarlah hal itu menambah pilihan yang semakin banyak untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Untuk itu perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut :

  • Cara persalinan terbaik di dunia adalah : SAFE VAGINAL BIRTH
  • Once cesarean is not always cesarean
  • SS harus berdasarkan indikasi : tidak mungkin lahir per-vaginam atau lebih berbahaya lahir pervaginam untuk bayinya.
  • SS memberikan risiko dan biaya lebih tinggi.
  • Ingin melakukan sterilisasi tubeomi bukan merupakan indikasi SS.
  • Semua macam cara persalinan harus masuk dalam bahan informed consent
  • Meskipun sudah dipraktekkan diberbagai negara water birth dan metode Lotus birth belum mendapat pengakuan dari lembaga profesi POGI. Diupayakan agar selalu ada advokasi disertai dengan bukti penelitian bahwa metode terkait terbukti aman dan bermanfaat sebagai suatu pilihan cara persalinan.
  • Keputusan yang terbaik adalah bila pasien dan dokternya telah sepakat pada cara yang terpilih dan untuk selanjutnya dokter harus bertindak secara hati hati dan bertanggung jawab.


KEPUSTAKAAN :

  1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD (Eds) : Williams Obstetrics, 22nd Edition 2005, Chapter 25 Cesarean Delivery and Peripartum Hysterectomy : 585-605
  2. Sarwono Prawirhardjo (Ed): Ilmu Kebidanan : Yayasan Bina Pustaka; Jakarta 2003
  3. Rao BK. Global aspects of a rising cesarean section rate. In : Popkin DR, Peddle IJ (Eds). Women’s Health Today, Perspective on current research and clinical practice. The proceedings of the XIV World Congress of Gynecology and Obstetrics, Montreal, September 1994, The Parthenon Pub.Group, New York: 1994:55-8
  4. Kornia Karkata, Suyasa Jaya : Changing trends in Cesarean Section (CS) in Bali in Ten Years Period, 1984-1994. Majalah Kedokteran Udayana (MKU) Juli 1998, Vol 29; 101:127-31
  5. Kornia Karkata. Kecendrungan peningkatan seksio sesarea : Apakah itu malapetaka? Majalah Kedokteran Udayana (MKU), April 2005 Vol 36;128:128-35.
  6. Bewley S, Cockburn J : The unethics of ‘request’ caesarean section (commentary). Br J Obstet Gynaecol 109; 593, 2002a
  7. Minkoff H, Chervenak FA: Elective primary cesarean delivery . N Engl J Med 348: 946, 2003
  8. Sanchez-Ramos L, Kaunitz AM, Peterson HB, et al : Reducing cesarean sections at a teaching hospital. Am J Obstet Gynecol ;163:1081, 1990
  9. American College of Obstetricians and Gynecologists: Vaginal birth after previous delivery. Practice Bulletin No 54,July 2004.
  10. American College of Obstetricians and Gynecologists. Task force on cesarean delivery rates: Evaluation of cesarean delivery. June 2000.
  11.  Ros, Andrea, Ricardo Felberbaum, Iris Jahnke, Klaus Diedrich, Peter Schmuker and Michael Huppe.2007 “Epidural anaesthesia for labour: does it influence the mode of delivery? In : Archieves of Gynecology and Obstetrics. V.275(4):269-274(6).
  12. Gilbert R; Tookey P.(1999,Aug 21). Perinatal mortality and morbidity among babies delivered in water: surveillance study and postal survey. BMJ 319(7208):483-7
  13. Zimmerman R; Huch A; Huch R.1993.”Water birth – Is it safe?” Journal of Perinatal Medicine 21:5
  14. Johnson Paul (1996). Birth under water – to breathe or not to breathe. B J Obstet Gynecol ; 103(3) : 201-8
  15. Rachana , Shivam. Lotus birth, Greenwood Press, Australia 2000
  16. Purvati Baker, Jeanine . Prenatal Yoga & Natural Childbirth. North Atlantic Books, USA,2001
 


* * * *

DYSTOCIA DURING LABOR


DIFFICULT LABOR

Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)
Morning lecture for ObGyn students.

DYSTOCIA

Dystocia is defined as a difficult labor, the opposite of eutocia, an easy normal labor. It may associated with various abnormalities or pathologies that prevent or deviate from the normal labor and delivery. In general this condition will result in prolonged labor and if not treated well will end with neglected-labor which compromised both mother and baby outcome. It is considered normal if labor finish in, at least 24 hours, so every woman in labor should not experience two sunrise or two sunset. Prolonged labor is labor that last more than 24 hours or if there is prolongation of the phase of labor. Neglected labor is prolonged labor with complications for both mother and baby during birth process. Dystocia can happen at latent phase, active phase and second stage of labor.  The causes of dystocia are classified into 3 general categories that are often interrelated : factor of power, passage or passenger. Some also add the factor of mismanagement can influence the sequence of labor.

Factor of power :
            It is about the power of uterine contraction (his) to start labor and the power of bearing down at the second stage of labor. This include the ineffective contraction of the uterus, whether hypertonic, hypotonic or discoordinated uterine contraction and , at the second stage of labor may be because of lack of “pushing down” power..

Factor of the passage
            Abnormalities of the passage constitute pelvic dystocia and it is because of  aberration of pelvic architecture and its relationship to the presenting part of the baby (passenger). Such abnormalities may be caused by the size and configuration of bony pelvis, traumatic pelvic fracture, xyphotic and scoliotic pelves, inlet contraction, midpelvic-outlet contraction, and soft tissue abnormalities of the birth canal, ovarial tumor or blockage by placental location. Study by Caldwell and Maloy, classified the 4 major types of adult pelves: gynecoid pelvis is the most typically “female” type, android pelvis, anthropoid pelvis and platypelloid pelvis.
            To evaluate passage as a factor-causing dystocia can be done by doing clinical measurement and by X-ray pelvimetry. Suspicion of pelvic dyastocia can happen in short height mother ( low than 150 cm) , and mothers with bad obstetric histories. Once a mother successfully give normal vaginal birth a term baby with more than 2.5 kg , the pelvis is considered normal.
            Other anatomic abnormalities of the reproductive tract may cause dystocia. So-called soft tjssue dystocia may be caused by congenital anomalies, scarring of the birth canal, pelvic mass tumor and low implantation of the placenta..

Abnormalities of the passenger
            Known as fetal dystocia include fetal size, mal-positions (fetal lie), congenital anomalies, multiple pregnancies, compound presentation etc. Fetal head presentation is not a guarantee of successful labor. Face presentation, brow presentation and vertex presentation, compound presentation (ex: fetal head and part of extremity lay beside) can give a difficult labor. Abnormal fetal lie such as : breech presentation, transverse and oblique lie will result in abnormal labor. And obviously major fetal malformations can result in dystocia such as: hydrocephalus, fetal hydrops, Siamese twin and others.  

Abnormal patterns of labor.
            Labor is a dynamic process characterized by uterine contractions that increase in regularity, intensity and duration to cause progressive effacement and dilatation of the cervix and followed by descent of the fetus through the birth canal. To evaluate the progress of labor clinician use two methods: curve of Friedman and/or  partograph of WHO that widely used all over the world.
            By using “partograph WHO”, will prevent the incidence of prolonged labor and (of course) neglected labor. Neglected labor is prolonged labor with complications happened to both mother and child. Partograph itself is a very simple tool, easy to apply, and all of important information for mother and child are available, there is an “alert line” and “action line” to decide when to take intense observation and when the time to take action or to refer the patient to higher center.
Should the “opening line” cross the “alert line” the parturient should be monitored closely and soon the opening line cross the “action line”, the action should be taken by first considering which of the 3 factors as a cause of dystocia.

            Depend on its causes several actions could be taken such as:
·        Transverse lie can be changed by doing external version as there is no contraindication.
·        Hypotonic contraction can be fixed by breaking the amniotic membrane (amniotomy) or augmented by oxytocin induction with strict precaution considering indication, contraindication, the procedure of closed monitoring for possible dangers of fetal distress and potential uterine rupture for the mother.
·        Should dystocia happened at second stage of labor, as far as no contraindications and evidence fulfill the criteria of safe vaginal delivery then operative vaginal deliveries should be taken such as vacuum or forcepal extraction, manual delivery of breech etc.
·         If there is no way to make correction or it is considered dangerous to be delivered vaginally then cesarean section should be carried out.
Dystocia in the second stage usually of inadequate expulsive efforts because of conduction anaesthesia, oversedation, exhaustion or neurologic dysfunction such as paraplegia or hemiplegia and outlet foceps delivery may be effected in selected cases. For the shake of the baby the difficult mid and high forceps are abandoned and cesarean section is more preffered.
By using Friedman curve the progress of abnormalities labor consist of : prolonged latent phase, protracted active phase, secondary arrest of dilatation and prolonged second stage.

PROLONGED LATEN PHASE

            The duration of the latent phase averages 6.4 hours in nulliparas and 4.8 hours in multiparas. It considered prolonged if it lasts more than 20 hours in nulliparas or 14 hours in multiparas and stated as more than 8 hours in WHO partograph.
Causes consist of : a labor with low Bishop score , uterine dysfunction characterized by weak, irregular, uncoordinated and ineffective uterine contractions and also because of feto-pelvic disproportion.

PROTRACTED ACTIVE PHASE.

            Protracted cervical dilatation in the active phase of labor, meaning there is constrain in speed of opening and tend to prolonged. The “secondary arrest” meaning there is a stop in opening at active phase of labor after 2 hours or more by same examiner.

MANAGEMENT

            The clinical signs of dystocia will appear in the form of prolongation of labor such as:: prolonged latent phase, protracted active phase, secondary arrest, opening line crossed the action line or prolonged second stage. After all  the three Ps should be reevaluated to confirm the cause of dystocia. The cause of power may be responded by augmentation with amniotomy or oxytocin induction as far as no contra-indication. If certain criteria matched to vaginal operative procedures then it should be applied with strict careful handling. And should there is no possibility to give vaginal birth or in the case of emergency due to fetal distress or threatened uterine rupture with incomplete opening of the cervix, then the cesarean section is mandatory.
            It is nice to know the indication, criteria, contra-indication and procedure to apply amniotomy, oxytocin stimulation, forcepal or vacuum extraction, cesarean section etc.

MATERNAL-FETAL EFFECTS OF DYSTOCIA

            Dystocia  will result in higher morbidity and mortality for both mother and child. Prolonged labor and (much more) neglected labor will appear in exhaustion, dehydrated, vulvar-edema, cervical edema, intra-uterine infection, general peritonitis and even pathologic retraction ring and uterine rupture. For long term it will give pelvic floor injury and fistula formation .For babies, complicated dystocia may give caput  succedaneum, fetal head molding and complication due to the action of operative vaginal deliveries, chorioamnionits, neonatal sepsis, severe fetal distress and even fetal death in utero and also cerebral palsy in later life.. Manipulated deliveries can complicate with skull fracture, cerebral palsy, deep nerve paralyse, clavicular fracture etc.
            Management of fetal compromised during labor several actions should be taken include : a change of the mother’s position on her side, correct maternal hypotension  by intravenous fluid drip, decrease uterine activity by stopping the administration of oxytocin or change to tocolytic agent and administer oxygen mask.
            If the situation worsen, immediate delivery is mandatory. Obstetric judgment  must decide how the delivery will be accomplished in relation with the presentation, station, position and dilatation of the cervix and presumed fetal status.
The indication for cesarean section have been broadened with its increased safety ( anesthesia, laboratory, blood bank and neanotology). Thus the use of cesarean section may justifiably increased for fetal distress, big sized baby, contracted pelvic inlet, fetopelvic disproportion , previous uterine scar, placenta previa, abruption placenta, abnormal presentation and maternal complication such as vesico-vaginal fistula, severe cardiac disease etc.


* * * * *

References :

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Gilstrap III LC, Wenstrom KD (Eds): Williams Obstetrics, 22nd Edition 2005, Chapter 20, Dystocia, Abnormal Labor : 495-521.