Selasa, 05 Juni 2012

Etika & Profesionalisme


ETIKA & PROFESIONALISME

Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)
Ketua Majelis P2K IDI Wilayah Bali


            Setelah lulus menjadi dokter maka pada umumnya semuanya ingin segera mempraktikkan ilmu kedokterannya untuk mengabdikan profesi serta sekalian hidup darinya. Asal kata profesi ada kaitannya dengan profiteri; yang menyatakan bahwa seseorang kompeten ; prosesus; berarti ada ikatan dengan janji atau sumpah , suatu ikatan bathin untuk melakukan pekerjaan sebaik baiknya. Dalam kata ”profesi”  juga terkandung unsur-unsur : bahwa seseorang telah memiliki kompetensi ilmu tertentu; bertanggung jawab terhadap klien dan mempunyai organisasi yang mengatur anggota profesi serta mempunyai kode etik sebagai pemandu dalam melakukan pekerjaannya. Didalam profesi juga ada makna: mempurnyai kemurnian niat ; kesanggupan untuk bekerja keras dan selalu bersikap cermat, rendah hati karena ingin mengabdi dan mempunyai integritas ilmiah dan sosial yang tinggi.
            Dalam melakukan tugasnya seorang dokter harus memperhatikan prinsip prinsip dasar etika yaitu : beneficence ; non-maleficence ; justice (berkeadilan) dan menghargai hak autonomy pasien. Sebagai suatu nilai , maka ETIKA akan bisa berubah dinamis sesuai dengan perubahan yang ada di dunia dan di masyarakat lingkungannya yang terjadinya secara perlahan. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, serta  perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh pendidikan dan lingkungan akan mempengaruhi etika serta pengambilan keputusan klinik.
Proses untuk menjadi dokter profesional tidak mudah dan akan melalui perjalanan yang panjang. Seharusnya dimulai dari perekruitan anak didik yang semestinya mempunyai tabiat mengedepankan altruisme , menomor duakan kepentingan pribadi atau kepentingan lain. Dalam proses pendidikannya harus  memenuhi isi kurikulum tentang penguasaan ranah cognitive , skill dan attitude/affective dan setelah lulus harus mendapat pembinaan dari organisasi IDI.
            Sesungguhnya ketika seorang dokter akan melakukan praktiknya otomatis dia sudah terikat oleh rambu rambu berupa : sumpah dokter; kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki); UU Kesehatan 23/1992; UU Praktik Kedokteran 29/2004 ; PerMenkes/ aturan KKI dan MKDKI serta tidak melupakan faktor lingkungan tempat mereka praktik berupa faktor agama, adat-budaya setempat dan kontrol dari hati nuraninya sendiri. Menguasai soft skills , akan memudahkan seorang dokter melaksanakan hard skillnya berupa: ketrampilan klinis membuat diagnosis , dari mulai melakukan anamnese , pemeriksaan penunjang; diagnosis banding; kemampuan penanganan kedaruratan medik serta persiapan untuk melakukan konsultasi atau rujukan.
            Dalam keterbatasannya juga hasil pekerjaan dokter selalu penuh dengan ”uncertainties” karena ada faktor faktor : perjalanan penyakitnya sendiri, adanya risiko melekat medis dan tindakan bedah; kemungkinan adanya efek samping atau penolakan/alergi; kesalahan medis atau kecelakaan non medis apalagi kalau ada unsur malpraktik. Oleh kerena itu kedepan peranan informed consent menjadi sangat penting. Berbeda dengan dulu maka setiap terapi medis, (apalagi) tindakan bedah harus diinformasikan lebih dulu  dengan complete, correct dan clear dan baru boleh dilakukan setelah mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien. Timbulnya sengketa medis akan berpeluang berlanjut menjadi masalah hukum terutama karena adanya ”orang ketiga” yang membuat persoalan menjadi lebih rumit. Sengketa medik adalah bentuk ketidak-puasan pasien yang bisa berasal dari faktor medis maupun non medis. Misalnya karena : hasil  tak sesuai dengan harapan , tak memuaskan, ada komplikasi atau kecacatan atau kematian atau adanya dugaan dokter telah melakukan malpraktik. Meskipun kata ”malpraktik” tidak ada dalam hukum Indonesia tetapi disitu ada pasal tentang ”ganti rugi karena kesalahan orang lain”. UU Praktik Kedokteran No 29 /2004 telah menyebutkan 28 butir yang disebut sebagai ”pelanggaran disiplin kedokteran”. Pelanggaran terhadap butir butir itu bisa diadukan dan berpeluang untuk dilakukan penilaian: apakah ada pelanggaran etik, ada pelanggaran disiplin atau bahkan ada pelanggaran hukum. Semuanya akan dikaji dan dibahas sesuai dengan bidang kesalahan yang dibuatnya.
            Ketika seseorang berusaha mempertahankan etika dokter dan bertindak profesional sering mengalami tantangan interna dan eksterna. Tantangan interna berupa : praktik substandar, gagal dalam penerapan etika; kegagalan self regulation dan faktor eksterna yang bisa berupa : komersialisasi profesi , desakan hedonisme , konsumerisme , hukum dan lain lain. Fakta kedepan jumlah dokter akan semakin banyak yang berakibat bisa menimbulkan persaingan positif dan negatif; ketidak-pastian upaya kedokteran, makin berkurangnya figur panutan, berkurangnya kontrol individu dan lingkungan, tekanan materialisme dan hedonisme serta kemajuan iptekdok yang semuanya berujung pada pelayanan kedokteran biaya tinggi. 

KESIMPULAN .

Untuk menjadi dokter profesional berpeganglah pada hal hal dibawah ini :
      -      selalu memegang sumpah dan etika kedokteran sebagai pemandu
-          Mempunyai kompetensi : cognitive ; skill ; affective profesi dokter
-         ”the health of patients should be our first consideration”
-          beneficence  = pro bono pasien , semuanya untuk kepentingan pasien
-          Non mal-ficence ; primum non nocere ; do no harm
-          Adil dan menghargai otonomi pasien
-          Lakukan karena memang ada : INDIKASI
-          Berikan informasi yang : 3 C
-         Berikan waktu untuk berfikir
-          Buat kesepakatan Informed Consent  ( bisa verbal / non verbal dan tertulis)
-          Kemudian lakukan dengan lege artis : teliti, hati hati dan bertanggung jawab
-         Selalu BERDOA sesuai keyakinannya.


* * *


** Denpasar :17 September 2011
     Seminar Sehari Continuing Profesional Development Bagian / SMF Radiologi
     Fk Unud / Rsup Sanglah ; Gedung Theater Widya Saba FK Udayana  
     Kampus Sudirman. Denpasar

BAGAIMANA MENGHENTIKAN TERORIS?

Kita harus sepakat NKRI  adalah nomor satu, UUD 45 dan Panca Sila menjadi dasar negara dan way of life cara berfikir kita menyelesaikan persoalan bangsa. Bila ada kelompok yang bertindak bertentangan dengan nilai diatas , pertama dilakukan pendekatan musyawarah dari lunak sampai tegas dan keras keras , demi kepentingan negara dan bangsa yang lebih luas. Kita melawan PERBUATAN YANG SALAH, siapapun yang melakukan itu tidak peduli pada agamanya, etnisnya atau  status sosialnya. Jangan membiarkan agitasi lewat ceramah agama biarpun oleh ulama sekalipun. Kita dapat merasakan mana ceramah agama yang memberi rasa teduh dan mana pula yang mengompori kelompok sendiri untuk memancing provokasi. Kelompok besar harus mengutuk tindakan kelompok kecil yang mengatas namakan agamanya tetapi sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Sebagai contoh karena penulis beragama Hindu, andaikata ada teroris yang tertangkap kebetulan beragama Hindu  (bisa saja terjadi, kalau kita sepakat bahwa terorisme bukanlah persoalan agama) maka saya akan menghimbau lembaga formal dan organisasi yang bernafaskan Hindu agar mengutuk perbuatan teroris itu dan meminta maaf pada kelompok masyarakat yang menjadi korban. Tidak akan membuat gerakan Pembela Hindu akan tetapi akan membentuk Pembela Kebenaran yang membela siapapun , termasuk yang beragama lain, kalau mereka itu benar. Selanjutnya biarlah polisi mengusutnya dan menyelesaikannya lewat jalur hukum dan tidak perlu demo ke pengadilan apalagi dengan cara kekerasan, sebab dengan cara itu sesungguhnya polisi dan aparat hukum sudah dapat menebak "siapa calon teroris" berikutnya. Kalau negara kuat , dalam arti berani , maka mestinya tidak sulit . Takut pada "preman" maka dimana harga diri pemerintahan kita ???  Dan sesungguhnya sebagian besar penduduk Indonesia merindukan hal semacam itu, hukum harus ditegakkan , supaya lain kali .... jangan lagi ada orang demo .... memakai kerbau yang besar dan bertanduk hebat ... tetapi jalannya .. glinak ... glinuk ... menggemaskan ...

penanganan sepsis maternal


PENANGANAN SEPSIS MATERNAL

Made Kornia Karkata
Divisi Fetomaternal Bagian / SMF Obstetri Ginekologi
FakultasKedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar.

Abstrak.

            Meskipun di Indonesia sudah terdapat penurunan angka kematian ibu (AKI) karena sebab infeksi akan tetapi WHO masih menyatakan bahwa sepsis merupakan salah satu dari lima penyebab kematian ibu terutama di negara sedang berkembang. Sepsis meternal merupakan salah satu kegawatan obstetri yang sangat fatal. Infeksi yang tidak ditanggulangi akan berkembang menjadi bakteremia, sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS), severe sepsis dan syok septik yang berakibat kematian ibu.  Infeksi di bidang obstetri misalnya karena: korioamnionitis, post partum endometritis , aborsi septik, infeksi luka episiotomi dan seksio sesaria  serta akibat prosedur invasif penyebab necrotizing fasciitis,, pengikatan servix (cerclage) serta amniosentesis atau akibat toxic shock syndrome. Infeksi bisa juga berasal dari faktor non-obstetri seperti adanya radang apendiks, kholesistitis, infeksi saluran kemih pielonefritis dan pneumonia. Diagnosis sepsis sudah boleh ditegakkan bila ada faktor predisposisi infeksi dan ditemukan minimal dua kriteria SIRS. Manajemen sepsis menyangkut pendekatan tim multidisiplin yang agresif dalam waktu cepat yang melibatkan keahlian fetomaternal, perawatan intensif, ahli anasthesi dan farmasi. Kecepatan melakukan tindakan secara agresif sangatlah penting, golden period nya adalah dalam waktu 6 jam pasien harus sudah mendapatkan penanganan yang cukup dengan didahului pemberian cairan yang cukup serta antibiotika yang tepat. Selanjutnya dilakukan perawatan di ruang intensif dengan pemberian cairan intra vena, peningkatan pemberian oksigen, pemberian obat  vasopresor, obat obat inotropik, kalau perlu tranfusi darah, pemberian ventilasi mekanik dan pemakaian kateter arteri disertai dengan monitoring yang ketat. Pemeriksaan laboratorium yang lengkap harus dikerjakan, termasuk untuk mencari sumber dan jenis infeksi dengan pemeriksaan darah, urin, dahak, sekresi luka atau cairan amnion serta menguji sensitivitasnya terhadap antibiotika.  Agar dihindarkan keadaan yang ”Early Under Treatment and Late Over Treatment” sebab bila pasien sudah jatuh ke dalam MOD dan MOF maka mortalitasnya sangat tinggi dengan menghabiskan banyak biaya. Kalau perlu dapat dilakukan evakuasi sumber infeksi dengan tindakan pembedahan berupa kuret, drainase abses, eksisi jaringan nekrotis bahkan sampai histerektomi.

Kesimpulan : Sepsis maternal merupakan salah satu kegawatan obstetri yang sangat fatal yang memerlukan penanganan intensif yang cepat dan adekuat. Sumber infeksi bisa berasal dari sebab obstetri dan non obstetri. Sumber infeksi non obstetri harus dicari pada saat ante natal dan segera diberi pengobatan adekuat dengan antibiotika yang aman buat fetus. Infeksi yang terjadi saat hamil atau persalinan maka bayi harus segera dilahirkan sesuai dengan indikasi dan persyaratannya. Pada saat persalinan diawasi dengan partograf WHO untuk mencegah partus kasep dan penolong melakukan universal precaution, dan mengurangi tindakan yang manipulatif yang dapat menyebabkan robekan, perdarahan serta mudah terpapar infeksi. Penanganan multidisiplin dengan diagnosis akurat yang cepat, terapi suportif yang adekuat, serta pemilihan anti biotika yang rasional, evakuasi sumber infeksi serta monitoring yang ketat di ruang intensif akan mempengaruhi hasil keluaran sepsis maternal.

Kata kunci : sepsis maternal ; manajemen

 

MATERNAL SEPSIS MANAGEMENT

Made Kornia
Karkata
Division of Fetomaternal / Departement of Obstetrics Gynecology
Medical Faculty of Udayana / Sanglah Hospital, Denpasar.

Abstract.

While in Indonesia have been found decline in maternal mortality rate (MMR) because of infection but the WHO is still stating that sepsis is one of the five causes of maternal mortality especially in developing countries. Sepsis is one of the serious fatal obstetrics emergency.  Infections that are not appropriately addressed will develop into bacteriemia, sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS), severe sepsis and septic shock that resulted in maternal deaths. Infection in the field of obstetrics such as: chorioamnionitis, postpartum endometritis, septic abortion, wound infection and episiotomy and cesarean section due to invasive procedures causing necrotizing fasciitis, cervix cerclage and amniocentesis or due to toxic shock syndrome. Infection can also come from non-obstetric factors such as acute appendicitis, cholecystitis,  pyelonephritis, urinary tract infection and pneumonia. The diagnosis of sepsis is based on evidence of predisposing factors of infection and found at least two SIRS criteria. Management of sepsis involving a multidisciplinary team approach which is aggressive and quick time response involving fetomaternal expertise, expert in intensive care, anaesthesiologist and pharmacies. Speed ​​to act aggressively is very important, since golden period was within 6 hours the patient should have gotten adequate fluids and appropriate antibiotics. Furthermore, treatment should be continued in intensive care unit with intravenous fluid administration, increasing oxygen delivery, vasopressor drug and, inotropic drugs delivery, blood transfusion administration, provision of mechanical ventilation and the use of arterial catheters as well as close monitoring. The serial  laboratory examination is mandatory, including to seek the source and type of infection by blood tests, urine, sputum, wound secretions or amniotic fluid and tested its sensitivity to antibiotics.Always trying to avoid circumstances that "early under-treatment and late over-treatment" because if the patient had fallen into the MOD and MOF, the mortality is very high with spending a lot of cost. If  necesarry to do evacuations source of infection by applying curette surgery, drainage of abscesses, excision of necrotic-tissue or even to do hysterectomy..

Conclusion: Maternal sepsis is one of the most fatal obstetric crisis that requires quick and adequate intensive treatment. The source of infection can be derived from obstetric and non obstetric causes. Sources of non-obstetric infections should be sought at the time of ante natal
care and immediately given adequate antibiotic treatment which is safe for the fetus. Infections that occur during pregnancy or childbirth, the baby should be born in accordance with the indications and requirements. At the time of delivery the helper always practice universal precaution and apply partograph assesment, and reduce the manipulative actions that can cause tearing, bleeding and condition easily exposed to infection. Handling multidisciplinary with a rapid accurate diagnosis, aggressive supportive therapy is adequate, and the selection of a rational antibiotics, evacuation source of infection and close monitoring in intensive care will affect the outcome of maternal sepsis.

Keywords: maternal sepsis; management