Minggu, 22 Januari 2012

ROUTINE SCREENING OF DOWN SYNDROME ?


SKRINING RUTIN SINDROMA DOWN : PERLUKAH DI INDONESIA ?

Made Kornia Karkata
Divisi Feto-maternal Bagian/SMF Obstetri Ginekologi
FK UNUD / RSUP Sanglah, Denpasar.

Abstrak :

            Kelainanan bawaan merupakan salah satu penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas perinatal.  Diperkirakan 15% dari cacat bawaan janin terdiri dari kelainan kromosom, dan seperempatnya berupa Sindroma Down (SD). Bayi dengan SD berkaitan dengan IQ yang rendah, kemungkinan adanya kelainan penyerta berupa anomali jantung , saluran pencernaan dan dikemudian hari ada peningkatan risiko bagi anak untuk mendapatkan leukemia, gangguan thyroid dan pendengaran serta mudahnya tertular infeksi dan umur yang lebih pendek.
            Upaya skrining SD dimaksudkan untuk mencari grup ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan SD.yang untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan konfirmasi untuk menegakkan diagnosis.  Sampai saat ini standar baku emas untuk menegakkan diagnosis SD adalah dengan pemeriksaan kariotipe sel sel janin yang diperoleh melalui tindakan invasif amniosentesis atau chorionic villous sampling (CVS) yang tidak bebas dari risiko. Sudah diketahui pula bahwa pemeriksaan diagnostik SD yang hanya berdasarkan umur ibu yang “terlalu tua” untuk hamil, angka positifnya sangat rendah.  Di sekitar tahun 80-an telah mulai berkembang  skrining untuk SD yang disamping memperhatikan umur ibu juga menambahkan hasil pemeriksaan serum darah ibu dan pemeriksaan USG pada trimester kedua kehamilan. Pada serum ibu hamil dikenal pemeriksaan “triple test” yang pada bayi SD menunjukkan penurunan kadar MS-AFP (maternal serum alpha fetoprotein), peningkatan betha-hCG serta penurunan kadar oestriol. Dengan perkembangan pemeriksaan USG yang lebih canggih maka memungkinkan untuk melihat gambaran khas pada kehamilan trimester dua yang sering menyertai janin dengan SD. Dikenal adanya tanda mayor  seperti cystic hygroma, cardiac anomaly, atresia duodenalis dan tanda minor yang  meliputi femur pendek, choroids plexus cysts, renal pyelectasis.
            Sejak tahun 90-an skrining SD berdasarkan kombinasi umur ibu, ketebalan lipatan NT pada umur kehamilan  11-13 minggu dan hasil biokimia serum ibu (free betha-hCG dan PAPP-A) akan meningkatkan nilai prediksi positif diagnosis SD. . Dan bila hasil risikonya tinggi maka harus diikuti dengan konfirmasi diagnosis pada trimester pertama kehamilan untuk selanjutnya diputuskan manajemen pilihan yang tepat.

Kesimpulan :
             Karena tidak mudah dan biayanya mahal maka skrining SD secara rutin tidak perlu di Indonesia.  Skrining hanya dilakukan atas indikasi umur ibu diatas 40 tahun,  ibu pernah melahirkan bayi SD atau bagi ibu hamil yang ingin dilakukan pemeriksaan. Skrining menjadi tak perlu bila dikemudian hari telah tersedia fasilitas diagnosis non-invasif dengan memeriksa kariotipe sel fetal atau fetal DNA yang ada pada darah ibu.

ROUTINE SCREENING FOR DOWN SYNDROME: IS IT NECESSARY FOR INDONESIA?

Made Kornia Karkata
Fetomaternal Division, Depart. Of Obstetrics and Gynecology
Medical School of Udayana /Sanglah General Hosprital, Denpasar

Abstract:
           
            Congenital anomaly is one of the causes of the still high perinatal morbidity and mortality. It is estimated 15% of congenital anomalies are caused by chromosomal abnormalities, and one-fourth in the form of Down Syndrome (SD). A child with DS is closely related to very low intelligent quotient, along with possible cardiac and intestinal anomalies, and subsequent risk to develop leukemia, thyroid dysfunction, hearing loss and vulnerable to infection and shorter life span.
            The purpose of screening is to find out the group of pregnant women who have higher risk to get DS for their offsprings and therefore should be confirmed by final diagnosis.  At present, the gold standard of DS diagnosis is by examining the karyo type  of fetal cell derived from amniocentesis or chorionic villous sampling (CVS), which is actually not risk-free. Diagnosis that is based on “too old” maternal age alone provides only very low detection rate. Therefore since 1980, a new method of DS screening has been developed by considering maternal age, maternal serum biochemical testing, and USG scan done at second trimester of pregnancy.  Regarding the mother’s serum, there is triple test, covering detection on lowered MS-AFP (maternal serum alpha protein), increased betha-hCG and decrease of oestriol level in mother with affected fetus. Along with the remarkable development of USG, it is now possible to detect specific abnormal appearance of the fetus in the second trimester of pregnancy. It is commonly known major or hard signs consisting of cystic hygroma, cardiac anomaly, atresia duodenalis and minor or soft signs including short femur, choroids plexus cysts and renal pyelectasis.
            And finally, starting  in 1990 up to now DS screening is not routinely done but only indicated in mothers based on consideration of maternal age, thickness of NT fold at 11-13 weeks of pregnancy and findings of maternal serum biochemical test (free betha-hCG and PAPP-A); and these will increase the detection rate.

Conclusion :
Because the screening test is relatively costly and difficult to do, it is not necessary to do it routinely. Screening is only indicated in mothers with age above 40 years, past history of delivery of DS baby, and for mothers who wish to undertake the test. Screening may not be needed in the future if non-invasive diagnosis facilities exist, such as technique of determining the karyo type of fetal cell or fetal DNA in maternal blood.       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar