Minggu, 22 Januari 2012

Etika dan Profesionalisme Dokter


ETIKA & PROFESIONALISME

Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K)
Ketua Majelis P2K IDI Wilayah Bali


            Setelah lulus menjadi dokter maka pada umumnya semuanya ingin segera mempraktikkan ilmu kedokterannya untuk mengabdikan profesi serta sekalian hidup darinya. Asal kata profesi ada kaitannya dengan profiteri; yang menyatakan bahwa seseorang kompeten ; prosesus; berarti ada ikatan dengan janji atau sumpah , suatu ikatan bathin untuk melakukan pekerjaan sebaik baiknya. Dalam kata ”profesi”  juga terkandung unsur-unsur : bahwa seseorang telah memiliki kompetensi ilmu tertentu; bertanggung jawab terhadap klien dan mempunyai organisasi yang mengatur anggota profesi serta mempunyai kode etik sebagai pemandu dalam melakukan pekerjaannya. Didalam profesi juga ada makna: mempurnyai kemurnian niat ; kesanggupan untuk bekerja keras dan selalu bersikap cermat, rendah hati karena ingin mengabdi dan mempunyai integritas ilmiah dan sosial yang tinggi.
            Dalam melakukan tugasnya seorang dokter harus memperhatikan prinsip prinsip dasar etika yaitu : beneficence ; non-maleficence ; justice (berkeadilan) dan menghargai hak autonomy pasien. Sebagai suatu nilai , maka ETIKA akan bisa berubah dinamis sesuai dengan perubahan yang ada di dunia dan di masyarakat lingkungannya yang terjadinya secara perlahan. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, serta  perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh pendidikan dan lingkungan akan mempengaruhi etika serta pengambilan keputusan klinik.
Proses untuk menjadi dokter profesional tidak mudah dan akan melalui perjalanan yang panjang. Seharusnya dimulai dari perekruitan anak didik yang semestinya mempunyai tabiat mengedepankan altruisme , menomor duakan kepentingan pribadi atau kepentingan lain. Dalam proses pendidikannya harus  memenuhi isi kurikulum tentang penguasaan ranah cognitive , skill dan attitude/affective dan setelah lulus harus mendapat pembinaan dari organisasi IDI.
            Sesungguhnya ketika seorang dokter akan melakukan praktiknya otomatis dia sudah terikat oleh rambu rambu berupa : sumpah dokter; kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki); UU Kesehatan 23/1992; UU Praktik Kedokteran 29/2004 ; PerMenkes/ aturan KKI dan MKDKI serta tidak melupakan faktor lingkungan tempat mereka praktik berupa faktor agama, adat-budaya setempat dan kontrol dari hati nuraninya sendiri. Menguasai soft skills , akan memudahkan seorang dokter melaksanakan hard skillnya berupa: ketrampilan klinis membuat diagnosis , dari mulai melakukan anamnese , pemeriksaan penunjang; diagnosis banding; kemampuan penanganan kedaruratan medik serta persiapan untuk melakukan konsultasi atau rujukan.
            Dalam keterbatasannya juga hasil pekerjaan dokter selalu penuh dengan ”uncertainties” karena ada faktor faktor : perjalanan penyakitnya sendiri, adanya risiko melekat medis dan tindakan bedah; kemungkinan adanya efek samping atau penolakan/alergi; kesalahan medis atau kecelakaan non medis apalagi kalau ada unsur malpraktik. Oleh kerena itu kedepan peranan informed consent menjadi sangat penting. Berbeda dengan dulu maka setiap terapi medis, (apalagi) tindakan bedah harus diinformasikan lebih dulu  dengan complete, correct dan clear dan baru boleh dilakukan setelah mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien. Timbulnya sengketa medis akan berpeluang berlanjut menjadi masalah hukum terutama karena adanya ”orang ketiga” yang membuat persoalan menjadi lebih rumit. Sengketa medik adalah bentuk ketidak-puasan pasien yang bisa berasal dari faktor medis maupun non medis. Misalnya karena : hasil  tak sesuai dengan harapan , tak memuaskan, ada komplikasi atau kecacatan atau kematian atau adanya dugaan dokter telah melakukan malpraktik. Meskipun kata ”malpraktik” tidak ada dalam hukum Indonesia tetapi disitu ada pasal tentang ”ganti rugi karena kesalahan orang lain”. UU Praktik Kedokteran No 29 /2004 telah menyebutkan 28 butir yang disebut sebagai ”pelanggaran disiplin kedokteran”. Pelanggaran terhadap butir butir itu bisa diadukan dan berpeluang untuk dilakukan penilaian: apakah ada pelanggaran etik, ada pelanggaran disiplin atau bahkan ada pelanggaran hukum. Semuanya akan dikaji dan dibahas sesuai dengan bidang kesalahan yang dibuatnya.
            Ketika seseorang berusaha mempertahankan etika dokter dan bertindak profesional sering mengalami tantangan interna dan eksterna. Tantangan interna berupa : praktik substandar, gagal dalam penerapan etika; kegagalan self regulation dan faktor eksterna yang bisa berupa : komersialisasi profesi , desakan hedonisme , konsumerisme , hukum dan lain lain. Fakta kedepan jumlah dokter akan semakin banyak yang berakibat bisa menimbulkan persaingan positif dan negatif; ketidak-pastian upaya kedokteran, makin berkurangnya figur panutan, berkurangnya kontrol individu dan lingkungan, tekanan materialisme dan hedonisme serta kemajuan iptekdok yang semuanya berujung pada pelayanan kedokteran biaya tinggi. 

KESIMPULAN .

Untuk menjadi dokter profesional berpeganglah pada hal hal dibawah ini :
      -      selalu memegang sumpah dan etika kedokteran sebagai pemandu
-          Mempunyai kompetensi : cognitive ; skill ; affective profesi dokter
-         ”the health of patients should be our first consideration”
-          beneficence  = pro bono pasien , semuanya untuk kepentingan pasien
-          Non mal-ficence ; primum non nocere ; do no harm
-          Adil dan menghargai otonomi pasien
-          Lakukan karena memang ada : INDIKASI
-          Berikan informasi yang : 3 C
-         Berikan waktu untuk berfikir
-          Buat kesepakatan Informed Consent  ( bisa verbal / non verbal dan tertulis)
-          Kemudian lakukan dengan lege artis : teliti, hati hati dan bertanggung jawab
-         Selalu BERDOA sesuai keyakinannya.


* * *


** Denpasar :17 September 2011
     Seminar Sehari Continuing Profesional Development Bagian / SMF Radiologi
     Fk Unud / Rsup Sanglah ; Gedung Theater Widya Saba FK Udayana  
     Kampus Sudirman. Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar