Senin, 21 April 2014


LAPORAN PENYELENGGARAAN PIT VII HIMPUNAN KEDOKTERAN FETOMATERNAL DI DENPASAR BALI , Maret 2006.


Nama :  Pertemuan Ilmiah Tahunan Fetomaternal ke-7
7th ANNUAL MATERNAL FETAL MEDICINE SCIENTIFIC MEETING & 1ST ASIA-PACIFIC ADVANCED ULTRASOUND COURSE IN OBSTETRICS AND GYNECOLOGY and   NUCHAL TRANSLUCENCY (NT) COURSE, Kuta-Bali March 20 – 25 , 2006.

Pelaksanaan : terdiri atas dua tahap yaitu:

  • Sidang Organisasi HKFM yang berlangsung tanggal 19 Maret 2006 yang menghasilkan :
    • Buku Panduan Pengelolaan Kelainan Bawaan di Indonesia
    • Buku Panduan Pengelolaan Kehamilan dengan Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) di Indonesia
    • Pergantian Pengurus Pusat HKFM dari Prof Hariadi ke dr Noroyono Wibowo.
  • PIT Fetomaternal ke 7, berlangsung dari tgl 20 – 22 Maret 2006 dengan thema :’ Fetal growth and developmental problems with focus on Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) and Congenital Anomalies: Expectations and Realities”
  • Nuchal Translucency (NT) Course, sehari penuh pada tanggal 23 Maret 2006, bekerja sama dengan Fetal Medicine Foundation of United Kingdom dan Department of Obstetrics and Gynecology The Chinese University of Hongkong
  • 1st Asia-Pacific Advanced Ultrasound Course in Obstetrics & Gynecology and, dari tanggal 24 – 25 Maret 2006.
  • Peserta PIT HKFM sejumlah : 399 orang dan peserta kursus NT dan USG sebanyak 213 orang.
  • Pembicara tamu / pemberi kursus dari luar negeri adalah :
    • Tze Kin Lau (Hongkong)
    • Tse Ngong Leung (Hongkong)
    • Kevin Spencer (London)
    • Kazunori Baba (Japan)
    • Ivica Zalud (Hawai)
    • Ritsuko K Pooh (Japan)
    • Jin Chung Shih (Taiwan)

  • KESAN UMUM :  cukup sukses karena alasan sebagai berikut :
    • Jumlah peserta 612 orang yang ditambah dengan keluarganya menjadi sekitar 900 tamu pendatang.
    • Pasca tragedi Bom Bali II, ekonomi nasional guncang dan situasi keamanan masih rancu tetapi tetap menarik sehingga peserta datang.
    • Ian Donald Course yang rencananya menjadi andalan BATAL karena travel ban dan tauma bom itu sehingga atas bantuan semua pihak dapat mengganti pembicara pengganti dari Asia Pacific ( Hongkong, Taiwan, Jepang, Hawai) serta pembicara dari Maternal Fetal Medicine London , khusus untuk Kursus Nuchal Translucency.
    • Acara berjalan padat dari awal sampai hari terakhir.
    • Malam keakraban meriah karena ada artis dari Jakarta serta launcing produk farmasi.
    • Pameran alat USG dan pabrik produk farmasi , penuh dan mereka puas akan pelayanan panitia serta ekspektasi dokter yang datang ke stand pamerannya melebihi harapannya.


KEGIATAN LAIN DIVISI FETOMATERNAL BAGIAN OBGIN FK UDAYANA

  1. Mengutus speaker : Acute Fetal Distress during Labor: Sanglah Hospital Experience , pada The 12th  International Symposium on Shock and Critical Care 2005 ,12-14 Agustus 2003. Discovery Kartika Plaza Hotel Kuta.
  2. Moderator : Cesarean Section On Demand : a critical analysis ; Role of infection in Congenital Anomaly and IUGR. The 7th Annual Maternal Fetal Medicine Scientific Meeting and 1st Asia-Pacific Advanced USG Course in Obstetrics and Gynecology and Nuchal Translucency (NT) Course., Kuta , 20 25 Maret 2006.
  3. Speaker : How high is Cesarean Section rate for referral Hospital in Indonesia ? World Congress of Federation of International Obstetrics and Gynecology Organization (FIGO), Kuala Lumpur , Malaysia , November 2006.
  4. Membuat Ikatan Kerjasama antara Divisi FM Bagian Obgin FK Unud dengan Prof Kazunori Baba, Saitama Medical Hospital, Kawagoe, Japan .Mei 2007
  5. Mengirim 3 Staf FM untuk orientasi selama dua minggu di Saitama Medical Hospital , Kawagoe Japan , Mei 2007
  6. Pembicara : Fetomaternal services in Indonesia : Bali Profile. Saitama Medical Center, Kawagoe , Japan  , 8 Mei 2007.
  7. Sumbang pembicara : Routine screening of Down Syndrome : Is it necessary in Indonesia ? PIT Fetomaternal ke 9 , Hotel Grand Melia Jakarta , 12  Maret 2008.
  8. Sumbang moderator : Defisiensi besi pada kehamilan , Forum Debat. PIT 9 Fetomaternal , Hotel Grand Melia Jakarta Pusat, 12 Maret 2008.
  9. Penyelenggara : Workshop USG Update, Meet The Expert Dr Ananda Kumar Chinnaiya ,AOFOG, Denpasar 20-21 Desember 2008 ,dalam rangka menyambut HUT RSUP Sanglah.
  10. Ikut sumbang pembicara : Peran Asam Folat Dalam Kehamilan, Sidang Pleno IDI Cabang Denpasar, Gedung Widya Sabha FK Unud, 12 Juli 2008.
  11. Ikut sumbang pembicara : Manajemen Alternatif Kista Ovari dalam Kehamilan. Kursrs USG Lanjutan, PIT POGI , 26 Juli 2008, Balikpapan.
  12. Ikut pembicara : Pros and cons : Cesarean on request post Cesarean Delivery . Acara Debat KOGI XIV Surabaya ; 6 – 9 Agustus 2009.
  13. Menyelenggarakan: Symposium and 3rd ISUOG Course in Obstetrics and Gynecology ; Discovery Kartika Plaza Hotel, 19 – 21 November 2009.
  14. Menyelenggarakan TOT untuk para staf trainer pendidikan KFM di area Trigonum , Surabaya-Denpasar-Malang disertai peserta Senter Bandung. Kerjasama dengan Australia , Denpasar 26-28 April 2010







Denpasar : 26 Maret 2010.

Ketua Divisi FM Bagian Obgin Denpasar



Prof dr Made Kornia Karkata, SpOG(K) 





LAPORAN MENGIKUTI RAPAT PLENO I MPPK IDI PUSAT
Minggu : 7 April 2013
HOTEL GRAND CEMARA , JAKARTA PUSAT
Yang hadir :
1.     Perwakilan IDI Pusat
2.     Ketua NPPK Pusat
3.     Wakil Dewan PDSp
4.     Wakil Dewan PDSm
5.     Wakil Dewan PDPP
6.     Ketua MPPK Wilayah ( hadir 9 wakil )
ACARA :
1.     Pembukaan
2.     Pengarahan Ketua MPPK ; Dr Pranawa Sp.PD.KGH ; tentang penyampaian hasil hasil Muktamar IDI k3-28 Makasar – 2012
3.     Kebijakan Kementrian Kesehatan terkait Organisasi Profesi & Tumpang tindih kompetensi ( Prof DR Akmal Taher, SpU(K)
4.     Kesiapan Profesi menghadapi Penerapan UU SJSN dan BPJS è Road Map Organisasi Profesi (Dr Gatot Soetono, MPH)
5.     Pandangan MPPK tentang tumpang tindih kompetensi  (Dr Sukman  Putra,Sp.A(K)
6.     Diskusi dan Rehat kopi
7.     Kebijakan tentang Aturan-Aturan Praktik (Prof Dr Zubairi Djoerban, SpPD.KHOM)
8.     Tata laksana Organisasi – Aturan Aturan Organisasi ( Prof Dr Abdul Razak Thaha, Sp.GK)
9.     Kebijakan tentang Dokter Asing (Dr Agung P.Sutiyoso, Sp.B.,Sp.OT)
10.  Implementasi Audit Medik (Prof DR Dr Herkutanto, SH,Sp.F(K)
11.  Kebijakan tentang Kajian CAM & Pengobatan Tradisional (dr Masfar Salim,Sp.FK.MS)
12.  CPD (DR Dr Aida Suriadireja, Sp.KK(K)
13.  Diskusi
14.  Paparan Primkop IDI tentang Rencana memiliki Gedung IDI
15.  Pembahasan Rencana Kerja Dewan-Dewan PDSp/PDPP/PDSm dan MPPK Wilayah
16.  Pleno Hasil pembahasan Dewan-Dewan dan MPPK Wilayah
17.  Penutup
KESIMPULAN  (antara lain)
·       Ini rapat pleno pertama MPPK setelah muktamar IDI Makasar
·       Disadari , ternyata banyak sekali tugas tugas MPPK yang belum selesai dan diharapkan agar MPPK Wilayah dapat ikut membantu .
·       Hanya  hadir hanya 9 wakil MPPK IDI Wilayah.
·       Pembahasan materi (terlampir) yang disertai masukan masukan tambahan belum merupakan keputusan. Semua pembahasan akan dibawa pada muktamar mendatang untuk mendapat pengesahan dan barulah kemudian akan diberlakukan. Diharapkan agar pada Muktamar mendatang lebih banyak MPPK IDI Wilayah yang bisa hadir.
·       Yang rumit tentang program BPJS  tentang hak dan kewajiban dokter yang dilibatkan ; system pembayaran ; negosiasi sebaiknya oleh IDI dan bukan dokter perseorangan.
·       Kepemimpinan dan regulasi tenaga kesehatan ; pimpinan Puskesmas / KaDinas Kesehatan / Direktur RS haruslah seorang dokter.  Peraturan daerah ada yang bertentangan dengan peraturan pusat.
·       Kegamangan yang terus berlangsung agar dibuat aturannya :
o   Tukang gigi tak diperbolehkan membuat gigi palsu
o   Farmasis tak boleh membuat resep
o   Perawat tak boleh mengeluarkan resep
o   Kegiatan pemeriksaan kesehatan oleh laboratorium dll
·       Pengaturan internship è diupayakan pemberian STR dan SIP sementara utk internship dan mendapatkan imbalan dari RS tempatnya bekerja.
·       Tentang posisi obat tradisionil/herbal , kedudukannya disamakan dengan obat konvensional ; somasi kepada Komite Penyiaran Nasional dengan penyiaran pengobatan tradisional yang tak benar
·       PDSp2 /konsultan tetap terkait dengan PDSp induknya
·       Aturan agar diperjelas tentang pembentukan PDSm ; multidisiplin paling sedikit ada 3 bidang percabangan ilmu kedokteran yang sudah dikenal dan tak ada keberatan dari PDSp / PDPP yang telah ada di IDI
·       Sudah terdaftar nama nama  perhimpunan misalnya : IDSAI menjadi PERDATIN : Perhimpunan Dokter Spesialis Anesthesiologi dan Terapi Intensif Indonesia. PERAPI dan selanjutnya aka nada perubahan nama gelar
·       Masih belum jelasnya batasan sampai dimana dan oleh siapa pelayanan primer, sekunder dan tersier
·       Dokter pelayanan primer sebagai tulang punggung system pelayanan kesehatan nasional
·       Banyak masalah yang masih dalam tatanan : brain storming dan belum dapat diputuskan dan hanya dicatat dalam notulen utk bahan rapat muktamar selanjutnya.
·       Panitia salah menyebut acara akan berakhir sehidngga anggota MPPK Wilayah banyak yang sudah pergi duluan karena tiketnya sudah fixed.
·       MPPK Wilayah adalah alat IDI Wilayah tak termasuk dalam pleno MPPK namun tetap mendapat undangan dan ikut aktif saat rapat kerja dan rapat pleno MPPK.
7.     Lengkapnya dapat dilihat pada lampiran laporan ini.
Jakarta 7 April 2013
Ketua MPPK IDI Wilayah Bali
Prof Dr Made Kornia Karkata,SpOG(K)

Senin, 07 April 2014

Isu Terkini Pelayanan Obsteri


ISU TERKINI PELAYANAN OBSTETRI

Made Kornia Karkata
Divisi Feto-Maternal Bagian Obstetri Ginekologi


PENDAHULUAN ( 1,2,3,4)




Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk menjawab berbagai masalah kesehatan yang semakin kompleks telah mendorong terjadinya perubahan dalam cara cara  implementasi pelayanan profesi terhadap masyarakat , termasuk penerapan kebijakan pelayanan obstetri. Akan tetapi sebelum suatu kemajuan iptek ditetapkan sebagai suatu kebijakan prosedur tetap pelayanan maka masih diperlukan proses uji coba terstruktur lewat berbagai uji penelitian yang berhasil membuktikan bahwa perubahan itu dapat direkomendasikan. Tidak jarang ketika kebijakan baru sudah ditetapkan dan dilaksanakan  ternyata pada evaluasi berikutnya hasilnya tidak menunjukkan konsistensi hasil keluaran yang bermakna sehingga kebijakan yang baru itu  perlu dievaluasi ulang. Era sekarang meskipun sudah ada paradigma tentang  evidence based medicine , implementasi hal hal tersebut tak selalu mudah dapat dikerjakan.
Panitia PKB Bagian Obstetri Ginekologi FK Udayana, telah menugaskan Divisi Fetomaternal untuk mengisi topik tentang isu terkini pelayanan obstetri sebagai  bagian dari acara PKB Bagian Obstetri Ginekologi tahun 2012.  Bahan tersebut didapatkan melalui curah pendapat para staf divisi FM untuk memilih  isu apa saja yang dapat diketengahkan agar bermanfaat bagi sejawat SpOG dalam praktik kesehariannya.  Untuk itu muncullah isu-isu tentang  : panduan etika profesi yang telah diterbitkan oleh POGI Pusat yang wanti wanti diingatkan kembali pada saat KOGI 15 di Nusa Dua ; angka kematian ibu (AKI) yang masih tinggi tak sejalan dengan penambahan produksi SpOG ; pre-eklamsia dan hipertensi dalam kehamilan ; peningkatan jumlah angka seksio ; penanganan prematuritas ; penanganan nyeri pada persalinan ; pemakaian misoprostol ;   penanganan ibu hamil dengan sero positif HIV yang belakangan kejadiannya semakin meningkat.
Dalam kenyataan yang lain, pada era global dengan keterbukaan informasinya maka masyarakat sebagai kelompok pengguna jasa pelayanan obstetri telah pula memakai hak otonominya untuk memilih cara terbaik untuk dirinya dan dalam wacana “back to nature”  ikut menelurkan tren tren baru yang juga merupakan isu isu terkini. Taruhlah misalnya penerimaan metode “water birth”, hypnobirthing dan lain lain cara untuk mengurangi sensasi nyeri persalinan serta cara alternatif lain dalam peristiwa kehamilan, kelahiran serta nifas.

PANDUAN ETIKA DAN PROFESI (3,5)

            Di tengah semua pencapaian pelayanan obstetri selama ini maka ditengarai telah terjadi pula, secara perlahan, kemerosotan etika profesi sehingga POGI sebagai induk organisasi profesi perlu menegaskan kembali pentingnya hal-hal tersebut diperhatikan agar wibawa profesi dapat terus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.  Pada KOGI 15 yang telah berlangsung di Nusa Dua, Juli 2012, telah dibagikan dan pula didiskusikan buku Panduan Etika dan Profesi Obstetri dan Ginekologi Indonesia dan buku Panduan Profesi Spesialis Obstetri-Ginekologi Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia.
Dalam Buku Panduan Profesi tersebut dipaparkan dengan sangat jelas apa saja yang sepatutnya dilakukan saat seorang SpOG menjalankan profesinya. Disamping itu diingatkan pula agar setiap SpOG selalu memegang sumpah dokter dan mengedepankan etika profesi untuk kepentingan pasiennya berupa : beneficence, non-maleficence, autonomy and justice. Oleh karenanya ketika seorang SpOG menjalankan profesinya diharuskan untuk selalu mengedepankan : altruism, integritas diri, prilaku yang menjaga harkat dan martabat profesi, menghargai kesejawatan, punya akuntabilitas, bertanggung jawab , excellence serta mampu : mengatur dirinya sendiri ; mendisiplinkan dirinya sendiri serta menghargai harkat dan martabat profesinya (Buku Panduan Profesi,Bab II, pasal 3 ). Anggota POGI harus bisa memerankan dirinya sebagai role model yang bisa menunjukkan integritas, akuntabilitas dan mendemonstrasikan toleransi, keramah-tamahan, respek dan ikut menjadi panitia, pembicara atau moderator (Bab IX pasal 25). Juga dirinci tentang upaya pemeliharaan profesionalisme, manajemen risiko sampai pada uji kredensial, kewenangan klinik, penilaian kinerja serta P2KB (pengembangan profesi kedokteran berkelanjutan)(Pasal 21). Tidak lupa disinggung tentang keadaan kesehatan dan batasan umur berprofesi bagi SpOG.  Seluruh SpOG harus bisa : a. mengerti bahwa bila ia sudah pensiun dengan usia yang lanjut (70 tahun), sehingga tidak dapat lagi berprofesi-praktek dengan baik oleh karena dapat membahayakan pasien; b. mengerti dan memahami, apabila tak berkapasitas lagi dalam berprofesi-praktik, harus dapat berhenti berprofesi – praktik; c. bahwa setelah menderita sakit yang berat, seperti stroke, maka demi kepentingan keselamatan pasien, yang bersangkutan tidak lagi berprofesi-praktik; kalau secara medis berdasarkan pemeriksaan kesehatan masih dapat berprofesi, sebaiknya dalam melakukan tindakan didampingi oleh SpOG yang lebih muda. Untuk lebih jelasnya maka sebaiknya setiap SpOG menyempatkan sekali saja membaca secara lengkap buku Panduan Profesi Spesialis Obstetri Ginekologi POGI. Dari buku Panduan Etika dan Profesi dapat dipetik beberapa hal yang penting untuk mengingatkan semua SpOG antara lain :
Bab II Pasal 3: dalam melakukan pelayanan kesehatan reproduksi harus selalu diperhatikan hak-hak pasien serta hak dan kewajiban dokter. Dalam penjelasannya pelayanan reproduksi termasuk: aborsi yang aman dan perawatan pasca-keguguran.
Pasal 4: menjadi pembela (advokasi) masalah-masalah kesehatan perempuan, termasuk melawan tindakan kekerasan pada perempuan (a.l. KDRT)
Pasal 5 : selalu mengedepankan “patient safety”
Bab IV , tentang Sikap terhadap Seksio sesaria atas permintaan (tanpa indikasi medis). Bab V : tentang menyelamatkan janin pada ibu yang meninggal mendadak. Bab VI : tentang Bank darah tali pusat dan pemanfaatan jaringan
Bab VII tentang Kloning rekayasa genetika dan riset pada praembrio.
Bab VIII tentang teknologi reproduksi buatan dan termasuk Bab X : tentang sikap dokter spesialis obstetri Ginekologi terhadap aborsi. Dinyatakan pada pasal 37: Aborsi atas indikasi medico-psikososial dapat dilakukan pada kasus kasus tertentu secara selektif setelah melalui konseling yang aman dan dapat dipertanggung-jawabkan.  Untuk menjawab krusial persoalan ini maka pasal 38 memberikan penjelasan : Sebagai kontrol apakah keputusan aborsi aman dibenarkan secara etis ialah apabila keputusan itu dibuat dengan berat hati karena tidak ada jalan lain yang lebih baik, dan bukan karena pertimbangan komersial.

ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) (1,2,5,6)

            AKI di Indonesia bukan saja masih tinggi di regional juga menurunnya sangat lambat.  Di antara tujuan MDGs (Millenium Development Goal's) yang lainnya, maka penurunan AKI akibat proses melahirkan paling menjadi tantangan. Dikhawatirkan  akan ada kegagalan dalam pencapaian target MDG karena kegagalan dalam upaya menurunkan AKI ini.  Dari jumlah yang ditargetkan, yaitu 102 kematian per 100.000 kelahiran pada tahun 2015, maka berdasarkan sensus epidemiologi kesehatan yang dilakukan, AKI saat ini masih pada angka 228 jiwa tiap 100.000 kelahiran angka yang masih sama seperti tahun 2007. Sementara itu jumlah lulusan SpOG dan bidan setiap tahun sudah banyak bertambah sehingga dipertanyakan apa yang salah dari situasi sekarang ini. Sementara itu biaya pendidikan untuk meluluskan seorang SpOG sampai 500 juta selama empat tahun, dengan produksi 200 lulusan per tahun oleh 14 FK di Indonesia. Total SpOG di Indonesia (2011) 2350 dengan rasio 1 : 26.000 penduduk dengan tujuan rasio ideal adalah 1 : 2000 penduduk dan semestinya, secara teoritis seluruh SpOG dapat tersebar merata di seluruh propinsi di Indonesia.
Melihat perkembangannya, maka AKI di Bali sesungguhnya sudah jauh dibawah rerata nasional demikian juga kalau dilihat dari target Bali (< 100/100.000), demikian juga terhadap target MDGs Indonesia pada tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup. Akan tetapi angka ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI di negara-negara ASEAN. Jika dilihat dari cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan maternal (program KIA) di Bali sudah cukup baik (K1 sebesar 98,31% dan K4 sebesar 92,23%). Dari catatan Dinas Kesehatan Propinsi Bali , ada fluktuasi AKI di Bali dari : 59.5 (2005); 80.44 (2006) ; 69.2 (2007); 71.04 (2008); 73.9 (2009); 58.1 (2010 dan 84.25 (2011) yang menandakan belum adanya konsistensi sistem pelayanan kesehatan meskipun sudah ada beragam sistem bantuan berupa Jamkesmas , Jampersal untuk ibu melahirkan dan khusus dari pemerintah propinsi Bali berupa program Jaminan Kesehatan Daerah Bali Mandara (JKBM). Disamping ada perubahan tren kausa kematian ibu tetapi data tahun 2011 mencatat kausa kematian obstetri 64% sedangkan kausa non obstetri 36% bervariasi dari sakit jantung, gagal ginjal, pneumoni serta, yang perlu diwaspadai adalah, pengidap HIV. Ditengarai AKI relatif sulit diturunkan lagi karena alasan:
1.                 birokrasi administratif menyebabkan penduduk asli Bali-pun tak dapat mempergunakan fasilitas bantuan kesehatan yang telah ada sehingga sistem pembiayaan dan pembayaran kesehatan perlu dibenahi. Juga birokrasi belum berhasil menata imigran pendatang (diperkirakan 300.000 orang pertahun) yang tak termasuk mendapat pembiayaan tetapi kematiannya tercatat dalam AKI Bali.
2.                 Sistem organisasi pelayanan yang masih perlu dibenahi tentang ante natal care , pengenalan kehamilan ririko tinggi, program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) , pola rujukan dan standar PONEK di tempat pelayanan kesehatan
3.                 Belum adanya pembenahan atau tindakan yang dilakukan setelah ada audit kematian ibu dan neonatus di suatu tempat pelayanan, buktinya masih ada kejadian kematian ibu yang terjadi berulang dari senter tertentu dengan kausa yang sama.
4.                 Untuk yang lebih mendasar adalah masih perlu ditingkatkan penyuluhan kesehatan dan mengubah prilaku masyarakat.
Yang menjadi perhatian profesi adalah jangan sampai SpOG melakukan kesalahan dalam ranah tiga keterlambatan yang menjadi faktor terjadinya  AKI yaitu : terlambat memutuskan ; terlambat merujuk dan terlambat melakukan tindakan akhir oleh karena terlambat datang atau tak ada ditempat atau susah dihubungi.

MENINGKATNYA ANGKA SEKSIO SESARIA (2,7,8,9)

            Sejak 1970 terjadi “booming” seksio sesaria di seluruh dunia mulai di Amerika dari angka 5.8% (1970) menjadi 32.3%(2008); di Amerika Latin dari 16.8%((1970) menjadi 40%(2009) dan satu kota Sao Paulo di Brasil bahkan sampai 70%. DepKes RI (2008) mencatat data dari 32 RS Propinsi menunjukkan angka seksionya berkisar 3.30 – 40.4% dengan rata rata 24% total persalinan.    Meningkatnya angka seksio sesaria di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dan di Bali  tampaknya memprihatinkan dan selalu ada pro dan kontra akan tetapi belum ada upaya upaya yang efektif yang dapat menurunkan angka seksio itu kalau tidak malah sebaliknya. Di seluruh dunia peningkatan angka seksio itu dihubungkan dengan adanya perubahan “nilai” baik akibat perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan kebijakan profesi serta perubahan dalam pengetahuan dan sikap masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan unsur otonomi yang menjadi hak pasien. Dalam berbagai telaah maka perubahan nilai yang terjadi, antara lain, adalah : konsep penerimaan keluarga kecil ; perubahan dalam kebijakan perinatal, sikap terhadap letak sungsang ; bertambahnya usia ibu hamil, dampak pemakaian monitoring elektronik untuk menilai kesehatan janin; pasien yang takut sakit ; pengulangan seksio karena pernah seksio pada kehamilan sebelumnya, pasien yang ingin menghindari kerusakan jaringan dasar pelvis ; meningkatnya berat badan janin yang dilahirkan, ibu hamil yang kegemukan, serta seksio atas permintaan sebagai hak otonomi pasien. Di sisi lain ada perubahan sikap dokter yang tidak mau mengambil risiko dan berbagai kepentingan lain yang saling mengkait. Makanya US National Institute of Health menyatakan : “ …the rise in rate of CS are not, in isolation, a cause of concern, but may reflect changing reproductive pattern”
WHO sendiri memang telah mencabut rekomendasi Cesarean Section-rate 15% untuk rumah sakit rujukan .  Pernyataan resminya adalah : “ There is no empirical evidence for an optimum percentage. What matter most is that all women who need cesarean section receive them”.  Angka seksio optimal adalah tergantung pada tujuan keluaran optimal untuk ibu dan bayinya dengan memperhatikan kepentingan ibu. Artinya bila tidak ada “tekanan kepentingan” yang lain maka angka ideal seksio tergantung pada waktu, populasi, perseorangan dan keadaan social. Mungkin hal ini di Bali disebut sebagai : desa, kala , patra.
Terlepas dari itu semua itu maka sebagai profesional mungkin perlu memperhatikan hal hal dibawah ini :
·      Konsep bahwa : “The best method of delivery in the world is SAFE VAGINAL BIRTH”
·      Bila tidak ada kontra-indikasi mutlak (seperti panggul sempit, plasenta previa, CPD , letak lintang dlsb) maka harus selalu diberikan kesempatan lahir per-vaginam sampai berkembang distosia yang bukan karena kelemahan his.
·      Keputusan harus lebih hati hati, terutama untuk primigravida sebab repetisi untuk terjadinya seksio ulangan adalah sampai 40-50% kasus pada kehamilan berikutnya.
·      Meskipun tindakan seksio sesaria atas permintaan (tanpa indikasi medis) dibenarkan secara etik (Bab IV, pasal 9 Panduan Etika dan Profesi) tetaplah dipegang persyaratan sebagai berikut:
o   Pasien harus mengajukan permohonan kepada dokter untuk melakukan tindakan seksio sesaria.
o   Dokter harus menjelaskan bahwa pada saat tersebut persalinan pervaginam ,asih dimungkinkan.
o   Dokter harus menjelaskan bahwa persalinan melalui seksio sesaria tidak lebih baik/aman dibandingkan persalinan pervaginam.
Untuk tetap diingat bahwa tindakan seksio (kecuali ada indikasi mutlak) akan bisa berdampak terjadi pengulangan seksio darurat, kejadian plasenta previa, plasenta akreta, , meningkat kejadian perdarahan post partum dan kejadian  histerektomi pada kehamilan berikutnya.

PENANGANAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN (2,10,11,12)

            Setelah perdarahan dan infeksi dapat ditekan maka hipertensi dalam kehamilan semakin menonjol sebagai kausa kematian ibu disamping kausa medis non obstetri. Oleh karena sampai saat ini juga persoalan preeklamsia masih tetap sebagai disease of theories dan apapun teori kausanya maka ia harus mampu menjelaskan 3 fenomena utama yaitu: adanya vasokontriksi sistemik; adanya hemokonsentrasi serta mudahnya terjadi gangguan koagulopati dan lesi endotel. Teori yang banyak dianut adalah kesepakatan bahwa patologi preeklamsi dimulai sejak awal saat ada gangguan remodeling arteria spiralis sehingga secara keseluruhan berdampak pada terjadinya insufisiensi sirkulasi feto-plasenter. Hal yang sama juga terjadi pada kehamilan dengan ibu yang menderita hipertensi terlebih dahulu. Sampai saat ini dua keadaan tersebut menyumbang cukup bermakna morbiditas dan mortalitas baik pada ibu dan bayinya.  Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan dibagi atas : I . Hipertensi gestational : didapatkan tekanan darah >= 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan, tidak disertai proteinuria dan desakan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan; II. Pre Eklamsi : tekanan darah >= 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai proteinuria >= 300 mg/24 jam atau dipstick >= 1+ ; III. Eklamsi : adanya kejang dan atau disertai koma pada preeklamsi ; IV. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi : timbulnya proteinuria >= 300 mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya dan proteinuria timbul setelah umur kehamilan 20 minggu.; V. Hipertensi kronik : ditemukan tekanan darah >= 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum umur kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Begitu terjadi pre-eklamsi maka terapi terbaik adalah terminasi kehamilan , akan tetapi itu tak bisa dilakukan dengan alasan untuk mencapai viabilitas bayi.  Secara klasik sudah diketahui faktor faktor risiko terjadinya preeklamsi yaitu :
A.     Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklamsi
a.     Risiko yang berhubungan dengan partner laki :
                                               i.     Primigravida
                                              ii.     Primipaternitas
                                            iii.     Umur yang ekstrim : terlalu muda / tua
                                            iv.     Partner laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil mengalami preeklamsi
                                              v.     Pemaparan terbatas pada sperma
                                            vi.     Inseminasi donor dan donor oocyte
b.     Risiko berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu
                                               i.     Riwayat pernah preeklamsi
                                              ii.     Hipertensi kronik
                                            iii.     Penyakit ginjal
                                            iv.     Obesitas
                                              v.     Diabetes
                                            vi.     APS dan hiperhomosistemia
c.      Risiko yang berhubungan dengan kehamilan
                                               i.     Mola hidatidosa
                                              ii.     Hamil kembar
                                            iii.     Infeksi saluran kemih
                                            iv.     Hidrops fetalis
B.     Faktor yang mengurangi risiko terjadinya preeklamsi:
a.     Seks oral
b.     Merokok
Sesungguhnya morbiditas dan mortalitas karena preeklamsi/ eklamsi dapat diturunkan sampai sangat rendah dengan cara melakukan terminasi kehamilan dengan catatan senter pelayanan harus menyediakan Neonatal Intensive Care Unit  yang mampu merawat bayi dengan berat badan lahir rendah. Di Negara maju, kemampuan neonatologist serta fasilitas NICU-nya mampu menurunkan AKI oleh karena preeklamsi dengan cara segera melakukan terminasi.  Tujuan  penanganan preeklamsia adalah untuk mencegah agar pasien jangan terjun ke eklamsia dengan cara mempertahankan kehamilan seaterm mungkin. Bila sudah terjadi eklamsi maka terminasi kehamilan dilakukan tanpa memandang umur kehamilan dengan cara yang sesuai kondisinya. Banyak usaha usaha pencegahan yang merupakan evidence medicine practice (yang sering dikerjakan) akan tetapi belum terbukti memberikan manfaat secara evidence based medicine.
Dalam praktik kesehariannya maka seorang SpOG harus memperhatikan : faktor risiko terjadinya ; klasifikasi kehamilan dengan hipertensinya ; penanganan  sampai pre-eklamsia berat dengan berbagai sikap dan medikamentosa sambil menunggu viabilitas fetus tercapai dan setelah itu terminasi (kalau perlu diberikan kortikosteroid pematangan paru); dan bila sampai terjadi eklamsi maka juga dilakukan terminasi sesuai dengan persyaratannya.


PENATALAKSANAAN PREMATURITAS ( 2,13,14)

            Prematuritas yang, pada umumnya, akan menghasilkan bayi dengan berat badan lahir rendah masih merupakan penyumbang angka kematian perinatal di Indonesia. Prognosa bayi prematur tergantung berat badan serta maturitas organ vitalnya untuk berfungsi pasca lahir. Usia kehamilan 20-27 minggu , dengan berat badan < 1000 gram (extremely preterm), kehamilan 28-32 minggu, dengan berat badan lahir 1000-1500 gram (very preterm); usia kehamilan 32-36 minggu, berat badan 1500-2500 gram , tentulah berbeda prognosanya tergantung kesiapan neonatal intensive care unit (NICU) yang ada. Banyak faktor risiko yang menimbulkan persalinan prematur antara lain: idiopatik, iatrogenik, sosio-demografik, faktor ibu, penyakit medis dan keadaan kehamilan, infeksi dan ada faktor genetik. Telah dikenal pula berbagai penanda biokimiawi untuk prediksi persalinan prematur seperti misalnya: pengukuran corticotrophin releasing hormone (CRH) yang diproduksi oleh plasenta dan korioamnion; pengukuran kadar estrogen dan progesterone; perhitungan sitokin yang dikaitkan dengan adanya inflamasi terutama IL-1, TNF@, IL-6 ; memeriksa hasil pecahan matriks ekstra seluler seperti MMP-1, MMP-9 dan fFN (fetal fibronectin) serta IGFBP-1 (Insuline-Like Growth Factor-Binding Protein) serta pemeriksaan USG dengan melihat perubahan funneling,corong kanalis servikalis. 
Pada akhirnya diagnosis ditentukan dengan cara penentuan umur kehamilan yang disertai dengan tanda-tanda inpartu klasik berupa: intensitas his yang semakin nyata, disertai penipisan serviks dan keluarnya mucus tercampur darah dan menurunnya bagian terendah janin.
Manajemen persalinan prematur meliputi : usaha pemberian tokolitik, pemberian steroid, pemberian anti-biotika serta rencana persalinannya. Ada kontroversi tentang manfaat tokolitik ini dalam memperpanjang usia kehamilan akan tetapi manfaat nyatanya adalah untuk memberi kesempatan pemberian kortikosteroid pematang paru sehingga keluaran janin menjadi lebih baik. Tokolitik yang dipakai bervariasi antara : magnesium sulfat; beta2-simpatomemetik (eks: Ritodrine) ; indomethasin ; COX (cyclo-oxygenase)-2 inhibitors ; Atosiban ; nifedipin. Pemberian kortiko steroid terutama untuk umur kehamilan 24-34 minggu, lebih disukai bethamethasone 12 mg intra-muskuler yang bosa diulang setelah 24 jam-nya sedangkan pemberian antibiotika terutama untuk prematuritas yang didahului oleh ketuban pecah dini atau diyakini kausanya karena factor infeksi. Tentang pemakaian 17 alpha-hydroxyprogesterone direkomendasi untuk : pencegahan prematur bagi ibu hamil dengan riwayat kelahiran prematur sebelumnya atau diketahui ada penanda (misalnya pemendekan serviks pada USG) pada umur kehamilan 22-26 minggu (ACOG & SOGC). Pengikatan serviks dengan cara cerclage hanya untuk kausa inkompeten serviks.

MENYELAMATKAN JANIN PADA IBU YANG MENINGGAL MENDADAK (2,3,5,15,16,17)

            Bab V Pasal 11 Panduan Etika dan Profesi mengingatkan kemungkinan SpOG akan dihadapkan dengan kegawat-daruratan ibu hamil dalam keadaan sekarat.
Tindakan gawat darurat seksio sesaria dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayi pada saat ibu dalam keadaan sekarat bahkan ibu sudah mati karena berbagai kasus kegawatan. Rekomendasi Katz (1986) SS dilakukan pada seluruh kejadian cardiac arrest yang gagal ditolong dengan CPR yang adekuat tanpa memandang kausanya dengan alasan : American Heart Association ; manual on Basic Life Support states :”the patient must always be in the supine position when external chest compression is performed” ; “aortocaval compression by pregnancy will reduce the venous return resulted in diminished CO”
Sudah diketahui bahwa resusitasi ibu dan bayi lebih mudah dilakukan setelah bayi dilahirkan. Efektivitas CPR pada kehamilan trimester III diganggu oleh kompresi aortocaval yang mengurangi venous-return stroke volume output sampai 30% dari normal. Memiringkan ibu kekiri merupakan tindakan awal resusitasi dan bila gagal maka bayi harus dilahirkan dalam 5 menit. Mengosongkan uterus segera akan menaikkan CO 60-80% dari keadaan sebelum hamil memperbaiki sirkulasi.
Jadi SSPM dilakukan pada ibu hamil trimester III yang berada dalam keadaan sekarat atau bahkan sudah mati oleh berbagai sebab setelah atau sedang mendapatkan CPR yang intensif dan bayinya masih hidup. Keadaan sekarat ibu bisa karena: cardiac arrest karena kecelakaan, cedera kepala berat, bunuh diri, keracunan, serangan jantung, stroke maupun emboli air ketuban. Syaratnya : bayi masih hidup, umur kehamilan setelah 28 minggu; cardiac arrest baru terjadi dalam 5 menit dan itu berarti keputusan harus sudah diambil pada menit keempat; tersedia pelayanan NICU yang handal; dalam keadaan jarang SSPM dilakukan secara berencana. Tehnik melakukannya dengan mencari tempat terdekat yang paling memungkinkan; melakukan insisi mediana tipe korpore dengan prinsip “quick in quick out” ; cedera minimal , pemotongan tali pusat panjang dan segera melakukan resusitasi neonates sementara resusitasi ibu terus dilakukan. Penutupan luka operasi tandar atau asal tertutup dan dilakukan oleh tenaga Obgin “terbaik” saat itu. Hambatan atau keterbatasannya adalah: umur kehamilan sering tak pasti, sebelum 23 minggu SSPM tak ada gunanya dan lebih baik fokus pada usaha untuk menyelamatkan ibu; interval waktu 5 menit sangat pendek; kemampuan resusitasi neonatal masih terbatas.
Vern Katz dkk : Perimortem caesarean delivery: Were our assumptions correct ? AJOG 2003 : “in trauma resuscitation however, perimortem cesarean section may not improve maternal outcome, and , as a consequence, it may be difficult sometimes to know at which point, if any, to “abandon” the mother in favor of the fetus. Without easy answers, individual clinical judgement remain the best strategy”
Conclusion : Published reports from 20 years (1885-2004) support, but fall far from proving, that perimortem cesarean delivery within 4 minutes of maternal cardiac arrest improves maternal and neonatal outcomes.
Dalam hal ibu dinyatakan meninggal atau mati batang otak, atau menjelang kematian akibat gagal nafas atau gangguan sirkulasi darah sedangkan janin masih hidup dan viable, maka tindakan seksio darurat harus segera dilaksanakan kecuali :
·      Bertentangan dengan pesan ibu waktu masih sadar
·      Harapan hidup bayi sangat kecil
·      Tidak disetujui suami atau keluarganya.
Dalam menghadapi situasi seperti itu beberapa opsi dapat dilakukan yaitu: seksio sesaria darurat ; mempertahankan fungsi pernafasan dan sirkulasi agar janin menjadi lebih matur atau menghentikan upaya perawatan ibu.

PEMAKAIAN MISOPROSTOl.(2,14,18,19,20)

            Mungkin pada era sekarang ini pemakaian misoprostol lebih banyak dipakai di bidang obstetri dibandingkan tujuan pertama kali obat itu diproduksi yaitu untuk mengatasi ulcus ventriculi. Efek sampingnya yang dapat menyebabkan kontraksi rahim menyebabkan penggunaan obat ini “off label use” yang dipakai untuk berbagai indikasi di bidang obstetri yang disertai dengan pengaturan dosis dan rute pemakaiannya. Indikasi misoprostol yang dituang dalam buku Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri 2012 adalah : untuk induksi persalinan, perdarahan pasca salin dan terminasi kehamilan. Kontra indikasi pemakaiannya adalah adanya cacat rahim akibat seksio sesaria atau pembedahan lain yang sejenis dan bila ada risiko alergi terhadap obatnya.
Untuk induksi persalinan janin yang masih hidup dapat diberikan : misoprostol 20-25ug per oral setiap 2jam atau pemberian pervaginam misoprostol 25ug setiap 6 jam. Dosis maksimal adalah dua kali pemberian dan pemberian lewat sublingual, bukal maupun rektal belum direkomendasikan (level of evidence (LE) Ia, rekomendasi A). Terminasi kehamilan trimester I (<14 minggu) direkomendasikan : misoprostol pervaginam 800ug setiap 6 jam sampai dosis maksimal 3 kali pemberian ( LE Ib, rekomendasi A) . Sebelum melakukan kuretase direkomendasikan pemberian misoprostol pervaginam atau sublingual 400ug , 2-3 jam sebelum tindakan (LE Ia, rekomendasi A).
Untuk terminasi kehamilan trimester II (15-27 minggu) dapat diberikan misoprostol 400ug pervaginam setiap 3 jam sampai dosis maksimal 5 kali pemberian pada umur kehamilan sampai 20 minggu dan bila lebih dosisnya sama dengan untuk terminasi IUFD. Untuk IUFD umur kehamilan 20-26 minggu dapat direkomendasikan misoprostol 100ug setiap 6-12 jam sampai maksimal 4 kali pemberian. Untuk umur kehamilan >27 minggu diberikan misoprostol 25-50ug setiap 4 jam sampai maksimal 6 kali pemberian (LE Ib, rekomendasi A).
Penggunaan yang paling penting dalam biang obstetri adalah untuk pencegahan perdarahan pasca salin dengan pemberian misoprostol 600ug per-oral dan untuk pengobatan perdarahan pasca salin misoprostol 800ug per-rektal (LE Ib, rekomendasi A). Yang perlu diperhatikan adalah efek sampingnya berupa: mual muntah ; demam sampai menggigil ; hiperkontraktilitas rahim / tetania uteri. Women on Waves dalam rangka kampanye pembelaan hak reproduksi perempuan maka untuk aborsi (pro choice) telah mengadviskan pemakaian 4 pil (800ug) dibawah lidah dikulum selama 30 menit dan diulang setiap 3 jam (maksimal 2400 ug)  bagi kehamilan trimester I dan mengklaim keberhasilan 80-90% dengan catatan agar pergi ke rumah sakit bila perdarahan berlebihan.

PENANGANAN IBU HAMIL DENGAN HIV POSITIF (2,21,22)

            Mungkin sekarang yang paling menakutkan kita adalah semakin banyaknya dijumpai ibu ODHA yang hamil yang nantinya akan bisa menularkan pada bayinya dan juga menulari nakes yang menolong persalinannya kalau tidak hati hati. Ketika pada tahun 1987 ada turis Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah diduga karena AIDS maka hanya dalam waktu 10 tahun, pada tahun 1997 telah lahir bayi di RSUP Sanglah dari seorang ibu dengan seropositif HIV. Data tahun 2010 di Indonesia tercatat 333.200 kasus ODHA , 25% diantaranya perempuan. Di Bali pada 2010 ditemukan 1747 kasus merupakan urutan terbanyak ke-6 setelah Jakarta, Jatim, Jabar dan Papua. Akan tetapi dalam persentase jumlah kasus per jumlah penduduk maka Bali menempati urutan ke-2 setelah Papua dan ditemukan peningkatan kasus dari 165 ( thn 2008) menjadi 478 (thn 2010). Danas Kesehatan Propinsi Bali melaporkan hanya dalam waktu dua bulan Juni sampai dengan Agustus 2012 telah terjadi peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS dari 6292 kasus menjadi total 6504 kasus dan menempatkan Bali sebagai propinsi 3 terbanyak jumlah penderitanya setelah Jakarta, Yogya dan Papua. Kalau pada awalnya penularan HIV melalui homoseksual dan jarum suntik maka sejak 2005 sudah mulai bergeser ke rumah tangga dari suami positif yang mendapatkannya dari prostitusi dan  satu dekade terakhir penularan dari suami ke istri dan bahkan ada penularan perinatal dan mengenai bayi yang tak berdosa.
Ada 3 pasal dalam Buku Panduan Etika dan Profesi POGI yang mencantumkan sikap profesi terhadap ODHA. Pasal 39: Perempuan seyogyanya menerima pemeriksaan laboratorium terhadap HIV. Pasal 40: Bagi pasangan infertilitas yang salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis untuk diberi pelayanan reproduksi buatan, bila mereka menginginkannya. Pasal 41: Dokter spesialis obstetric dan ginekologi wajib memberikan pertolongan yang professional pada pasien perempuan terinfeksi HIV sebagaimana pada pasien lainnya.
Infeksi HIV pada orang hamil menjadi penting karena:  sebagian besar ODHA pada perempuan adalah dalam usia subur; ada penularan vertical pada bayi yang dikandungnya ; 90% HIV anak didapatkan secara vertical dari ibunya; anak yang lahir cepat atau lambat akan menjadi yatim piatu. Pertimbangan dari segi perinatal juga mendapatkan : prevalensi ODHA dengan kehamilan meningkat ; penularan vertical menyebabkan naiknya prevalensi ODHA di masyarakat; HIV belum ada vaksinnya; ASI sebagai sumber infeksi; belum dilakukan skrining rutin pada ibu hamil; terpaparnya tenaga kesehatan bila kontak dengan ibu hamil ODHA. Sudah pula ada buku petunjuk tentang Prevention of Mother To Child HIV Transmission (PMTCT) dan di Bali telah ada pelayanan bumil dengan HIV positif di lima klinik PMTCT  yaitu :  RSUP Sanglah , RSUD Badung, RSUD Tabanan, RSU Sanjiwani Gianyar dan RSUD Buleleng.
PMTCT digalakkan karena 90% penularan HIV pada anak lewat ibu hamil dan menyusui dan 10% lewat transfuse. Infeksi HIV dari ibu ke anak menganggu kesehatan dan penularan dapat ditekan sampai 50% dengan pengobatan yang sudah tersedia di klinik PMTCT. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi tanpa intervensi PMTCT : 5-10% pada kehamilan; 10-20% saat persalinan dan 10-15% saat menyusui. Risiko penularan saat persalinan akibat : his akan meningkatkan tekanan vaskuler pada plasenta sehingga relatif mudahnya percampuran darah ibu dan bayi; bayi terpapar darah dan lendir pada saat melewati jalan lahir dan bayi kemungkinan terinfeksi karena menelan darah dan lendir serviks pada saat resusitasi.
Pelaksanaan asuhan ante natal dilaksanakan sebagaimana biasa yaitu monitoring kesehatan ibu pada umumnya serta tumbuh kembang bayi.  Yang terpenting adalah pemberian anti-retro-virus (ARV) profilaksis untuk menurunkan viral load  serta deteksi dini serta terapi faktor penyulit. Hindari penularan ke pasangan dengan pemakaian kondom dan periksa status serologis HIV pasangan. Secara singkat prinsip PMTCT pada ibu hamil dengan HIV-sero-positif adalah : pemberian ARV kombinasi ; cara kelahiran primer seksio sesaria (kecuali ada indikasi obstetri mendadak) dan setelah melahirkan tidak menyusui dan dianjurkan untuk tidak hamil lagi.
            Sesungguhnya kegiatan komprehensif PMTCT meliputi: 1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi; 2. Mencegah kehamilan yang tak direncanakan pada ibu dengan HIV; 3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yan dikandungnya; 4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya. Dengan demikian maka pemeriksaan rutin HIV haruslah menjadi acuan untuk setiap orang hamil saat pertama melakukan pemeriksaan ante natal dan apabila positif maka ditangani sesuai dengan algoritma penanganan HIV positif.

PENGOBATAN ALTERNATIF SERTA IMPLIKASINYA (2,23,24,25,26,27)

            Definisi sehat WHO, dari dulu tidak diubah yang intinya bahwa kesehatan meliputi raga, jiwa dan bahkan sosial. Ketika ada pemeo bahwa: banyak jalan ke Roma , termasuk dalam usaha kesehatan maka sangat masuk akal bahwa pengobatan medis konvensional bukan satu satunya cara menuju kesembuhan. Meskipun banyak keberhasilan akan tetapi cara medis konvensional tak selalu sepenuhnya berhasil “menyembuhkan” pasien. Istilah “idiopatik”, bukti bahwa ada efek placebo mengungkapkan masih banyak hal yang belum bisa diungkap, pendekatan sub-spesialistik sering meninggalkan cara pendekatan holistik yang diartikan sebagai : body, mind and spirit approach. Bidang inilah yang menjadi pintu masuknya pengobatan alternatif (PA) karena pengaruh transkultur, kepercayaan tradisionil, menambahkannya sebagai komplemen dan bukan pengganti pengobatan medis konvensional yang telah ada. Hampir di seluruh dunia pengobatan alternative ini diterima dan WHO memperkirakan hanya 30% saja yang murni melakukan pengobatan konvensional sedangkan sisanya memakai campuran, PA sebagai terapi suplemen bagi pengobatan konvensional.  WHO dalam Guidelines for the assessment of Herbal Medicine menyatakan, kecuali ada data yang bertentangan, maka pemakaian obat tradisional yang sudah sekian lama menunjukkan bahwa bahan obat itu terbukti mempunyai khasiat tertentu meskipun belum diketahui bagaimana cara kerjanya.  Dari kenyataan, bahwa ada obat ramuan tradisional yang sudah dipakai puluhan dan bahkan ratusan tahun “tanpa” ada catatan efek samping menambah keyakinan ini. Dan banyak sekali temuan obat modern yang berasal dari tumbuhan : kina, mophin, curare , digitalis dan sudah terbukti khasiatnya. Bahwa ada toleransi dari profesi kedokteran modern terhadap “ramuan obat herbal tradisional” yang sudah beredar luas bila dalam percobaan klinis dapat menunjukkan khasiatnya tanpa efek samping yang berat, maka bahan tersebut dapat dimasukkan dalam “fito-farmaka” yang dapat disediakan di apotik dan dokter bisa meresepkannya. Tindakan akupunktur bahkan sekarang diakui sebagai cabang ilmu yang resmi dan (beberapa fakultas) diajarkan dalam kurikulum kedokteran.
 Dari segi tingkatan pelayanan kesehatan terhadap pasien “the tasks of medicine” is : to cure sometime; to relieve often and to care always”  maka profesi harus memperhatikan kebutuhan pasien dalam berbagai aspeknya. Perkembangan “psiko-neuro-immunologi” yang selalu mengkaji dan menghubungkan bahwa sesuatu di psiko akan mempengaruhi neuro yang mempengaruhi sistem endokrin dan akhirnya mempengaruhi reaksi kekebalan tubuh yang tentu saja akan berpengaruh pada penampilan “kesakitan” pasien.  Spektrum pengobatan alternatif meliputi : chiropractice ; massage therapy; traditional chinese medicine; acupuncture; hipnotis ; water-birth dan sejenisnya dan lain lain.
Tentang alasan mengapa masyarakat mempergunakan PA karena beberapa hal antara lain : penderita penyakit kronis (mis: kanker) banyak yang kurang puas dengan lambatnya penyembuhan oleh obat konvensional ; merasakan “lebih baik” karena PA meningkatkan relaksasi dan menurunkan stress, sehingga perbaikan emosi akan mempercepat penyembuhan; mengurangi keluhan dan efek samping obat konvensional ; perasaan ikut aktif berperan dan mengontrol perjalanan penyakit , asal tak bertentangan dengan  petunjuk dokternya ; menganggap bahwa PA, herbal lebih alamiah dan tidak toksis ; punya kebebasan waktu untuk bicara dengan terapisnya , contohnya pada aromatherapy yang tak selalu dipunyai oleh seorang dokter; beberapa memakai PA untuk membuat dirinya berfikir positif dan mempunyai harapan; beberapa menganggap bahwa PA dapat meningkatkan system imunitasnya; dan bahkan ada yang mengharapkan kesembuhan total dengan hanya memakai PA tanpa mempergunakan terapi konvensional.  Dari pandangan etika dokter harus menghargai pilihan pasien berdasarkan hak otonominya sepanjang keyakinan dokter bahwa PA yang dipilih tak bertentangan dengan efek pengobatan konvensional yang diberikan. Pada akhirnya diskusi yang mendalam tentang peranan PA sebagai suplemen terapi konvensional , tentang aspek manfaat dan kerugiannya harus dilakukan.

BAGAIMANA SIKAP PROFESIONAL

            Ketika terjadi perubahan nilai di masyarakat oleh karena perkembangan ilmu, teknologi kedokteran serta perubahan di tingkat global dan masyarakat sendiri maka dapat dipastikan akan ada tren tren baru yang akan mengubah kebijakan pelayanan kedokteran termasuk cara penanganan obstetri . Dalam hubungan itu sikap seorang profesional haruslah tetap mengacu pada  etika profesi yang menekankan pada dan untuk kepentingan pasien yang terdiri dari  asas : beneficence ; non-maleficence ; autonomy and justice. Paradigma tentang pengobatan yang berbasis bukti haruslah selalu dikedepankan, meskipun tidak selalu mudah dapat dilaksanakan. Pada umumnya dengan memakai panduan atau prosedur tetap terkini yang dikeluarkan oleh perkumpulan profesi sudah cukup untuk dipakai pegangan dalam bersikap melayani pasien. Sikap atau keputusan yang diambil haruslah untuk kepentingan pasien dan harus dijelaskan lewat informasi yang lengkap, jelas dan komplit untuk akhirnya mendapat persetujuan yang selanjutnya diikuti dengan tindakan yang lege artis, artinya dilakukan dengan benar, cermat dan hati hati dan bertanggung jawab. Untuk selanjutnya monitoring hasil dan mengkomunikasikan semua perkembangan yang terjadi sampai final, apakah pasien sembuh atau meninggal. Selanjutya ketika pasien memilih menambahkan PA sebagai suplemen, dokter semestinya mengkajinya secara cermat apakah hal itu akan mengganggu kerja pengobatan konvensional . Sudahkah itu didiskusikan dengan cermat complete, correct and clear dan berakhir pada lahirnya informed consent ? 



DAFTAR RUJUKAN


  1. Workshop Nasional Pelayanan Kebidanan yang diselenggarakan di Kementerian Kesehatan RI, Selasa (15/5/2012).

2.     Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD (Eds.): William Obstetrics, 22nd Edition 2005. Chapter 25: Cesarean Delivery and Peripartum Hysterectomy :587-606 ; Chapter34: Hypertension disorders in Pregnancy: 761-808 ; Chapter 36: Preterm Birth: 855-880 ; Chapter 59: Sexually Transmitted Diseases : 1310-1317.
3.     Dewan Pertimbangan POGI  2012 : Panduan Etika dan Profesi Obstetri dan ginekologi di Indonesia (Good Practice in Obstetrics & Gynecology).
4.     Chambliss LR : Alternative and Complementary Medicine: An Overview. Clinical Obstetrics and Gynecology ,2001,Vol 44, Number 4:640-652
5.  Pengurus Besar POGI : 2012. Panduan Profesi Spesialis Obstetri-Ginekologi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
6.     Divisi ObSos Bagian Obstetri Ginekologi FK Udayana /POGI Cabang Denpasar: Laporan AKI Propinsi Bali 2011
7. Kornia Karkata. Kecendrungan peningkatan seksio sesaria: Apakah itu malapetaka? Majalah Kedokteran Udayana (MKU), April 2005 vol 36;128:128-35.
8.     ACOG. Task force on cesarean delivery rates: Evaluation of Cesarean delivery. June 2000.
9.     Minkoff H, Chervenak FA: Elective primary cesarean delivery. 2003, N Engl J Med ; 348:946
10.  Fiona Iyall , Michael Belfort: Preeclampsia: Etiology and Clinical Practice ; Cambridge Medicine 2007, New York
11.  Report on The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy ; Am Journal Obst Gynec Vol 183: Supp-1, July 2000.
12.  WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-eclampsia and eclampsia , Geneve , 2010
13. Sofie Krisnadi, Jusuf Effendi, Adhi Pribadi (Eds): Prematuritas. Sub Bagian Kedokteran Fetomaternal Bagian Obstetri Ginekologi Universitas Padjadjaran / RS Dr Hasan Sadikin Bandung ; PT Refika Aditama, 2009.
14.  Kornia Karkata , Herman Kristanto (Eds.): Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri , Himpunan Kedokteran Fetomaternal 2012.
15.  Whitten M, Irvine LM: Post mortem and perimortem cesarean section: What are the indications? J R Soc Med 93:6,2000.
16.  Finegold H, Darwich A, Romeo R, et al : Succesful resuscitation after maternal cardiac arrest by immediate cesarean section in the labor room. Anaethesiology 96:1278, 2002
17.  Whitty JE: Maternal cardiac arrest in pregnancy. Clin Obstet Gynecol 45:377,2002
18.  Women on Waves. Misoprostol Saves Women’s Lives. www.womenonwaves.org
19.  G, Weeks A, Winnikoff B. Treatment of postpartum hemorrhage. Int J Gynecol Obstet 2007;99:S-202-205.
20.  Alfirevic Z, Weeks A. Oral misoprostol for induction of labour (riview). Cochrane Riview 2007. Available at : www.thecochranelibrary.com
21.  Dinas Kesehatan Propinsi Bali ; Balipost Selasa Pon, 16 Oktober 2012
22.  National AIDS Commission , Rep.Indonesia : Pedoman Penatalaksanaan HIV-AIDS pada Kehamilan  (2005)
23.  Kleinman AK. Patients and Healers in the context of Culture. Berkeley; The University of California Press; 1980:49-60
24.   Chi-Keong Ong; Bridget Banks : Complementary and Alternative Medicine: the consumer perspective. Report of a pilot study into consumer use and preference for complementary and alternative medicine for The Prince of Wales’s Foundation for Integrated Health, 2003.
25.  Clueti ER, Nikodem VC, RE McCandish, Burns EE.: Immersion in Water in pregnancy, labour and birth. Cochrane Database of Systmatic Riviews 2008 Issue 1 ; The Cochrane Collaboration, Published by John Wiley & Sons Ltd.
26.  Mackey MM : Use of Water in Labor and Birth. Clinical Obstetrics and Gynecology, 2001, Vol 44 ,Number 4: 733-749
27.  Gentz BA : Alternative Therapies for the Management of Pain in Labor and Delivery . Clinical Obstetrics and Gynecology, 2001. Vol 44, Number 4:704-732



# # # # #