ISU TERKINI PELAYANAN OBSTETRI
Made Kornia Karkata
Divisi Feto-Maternal Bagian Obstetri Ginekologi
PENDAHULUAN ( 1,2,3,4)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk
menjawab berbagai masalah kesehatan yang semakin kompleks telah mendorong
terjadinya perubahan dalam cara cara implementasi
pelayanan profesi terhadap masyarakat , termasuk penerapan kebijakan pelayanan
obstetri. Akan tetapi sebelum suatu kemajuan iptek ditetapkan sebagai suatu
kebijakan prosedur tetap pelayanan maka masih diperlukan proses uji coba terstruktur
lewat berbagai uji penelitian yang berhasil membuktikan bahwa perubahan itu
dapat direkomendasikan. Tidak jarang ketika kebijakan baru sudah ditetapkan dan
dilaksanakan ternyata pada evaluasi berikutnya
hasilnya tidak menunjukkan konsistensi hasil keluaran yang bermakna sehingga
kebijakan yang baru itu perlu dievaluasi
ulang. Era sekarang meskipun sudah ada paradigma tentang evidence
based medicine , implementasi hal hal tersebut tak selalu mudah dapat
dikerjakan.
Panitia PKB Bagian Obstetri Ginekologi FK Udayana, telah
menugaskan Divisi Fetomaternal untuk mengisi topik tentang isu terkini
pelayanan obstetri sebagai bagian dari
acara PKB Bagian Obstetri Ginekologi tahun 2012. Bahan tersebut didapatkan melalui curah
pendapat para staf divisi FM untuk memilih isu apa saja yang dapat diketengahkan agar
bermanfaat bagi sejawat SpOG dalam praktik kesehariannya. Untuk itu muncullah isu-isu tentang : panduan etika profesi yang telah diterbitkan
oleh POGI Pusat yang wanti wanti diingatkan kembali pada saat KOGI 15 di Nusa
Dua ; angka kematian ibu (AKI) yang masih tinggi tak sejalan dengan penambahan
produksi SpOG ; pre-eklamsia dan hipertensi dalam kehamilan ; peningkatan jumlah
angka seksio ; penanganan prematuritas ; penanganan nyeri pada persalinan ;
pemakaian misoprostol ; penanganan ibu
hamil dengan sero positif HIV yang belakangan kejadiannya semakin meningkat.
Dalam kenyataan yang lain, pada era global dengan keterbukaan
informasinya maka masyarakat sebagai kelompok pengguna jasa pelayanan obstetri telah
pula memakai hak otonominya untuk memilih cara terbaik untuk dirinya dan dalam
wacana “back to nature” ikut menelurkan tren tren baru yang juga
merupakan isu isu terkini. Taruhlah misalnya penerimaan metode “water birth”,
hypnobirthing dan lain lain cara untuk mengurangi sensasi nyeri persalinan
serta cara alternatif lain dalam peristiwa kehamilan, kelahiran serta nifas.
PANDUAN ETIKA DAN PROFESI (3,5)
Di
tengah semua pencapaian pelayanan obstetri selama ini maka ditengarai telah terjadi
pula, secara perlahan, kemerosotan etika profesi sehingga POGI sebagai induk organisasi
profesi perlu menegaskan kembali pentingnya hal-hal tersebut diperhatikan agar wibawa
profesi dapat terus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Pada KOGI 15 yang telah berlangsung di Nusa
Dua, Juli 2012, telah dibagikan dan pula didiskusikan buku Panduan Etika dan Profesi
Obstetri dan Ginekologi Indonesia dan buku Panduan Profesi Spesialis
Obstetri-Ginekologi Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia.
Dalam
Buku Panduan Profesi tersebut dipaparkan dengan sangat jelas apa saja yang
sepatutnya dilakukan saat seorang SpOG menjalankan profesinya. Disamping itu diingatkan
pula agar setiap SpOG selalu memegang sumpah dokter dan mengedepankan etika
profesi untuk kepentingan pasiennya berupa : beneficence, non-maleficence, autonomy and justice. Oleh karenanya
ketika seorang SpOG menjalankan profesinya diharuskan untuk selalu
mengedepankan : altruism, integritas diri, prilaku yang menjaga harkat dan
martabat profesi, menghargai kesejawatan, punya akuntabilitas, bertanggung
jawab , excellence serta mampu :
mengatur dirinya sendiri ; mendisiplinkan dirinya sendiri serta menghargai
harkat dan martabat profesinya (Buku Panduan Profesi,Bab II, pasal 3 ). Anggota
POGI harus bisa memerankan dirinya sebagai role
model yang bisa menunjukkan integritas, akuntabilitas dan mendemonstrasikan
toleransi, keramah-tamahan, respek dan ikut menjadi panitia, pembicara atau
moderator (Bab IX pasal 25). Juga dirinci tentang upaya pemeliharaan
profesionalisme, manajemen risiko sampai pada uji kredensial, kewenangan
klinik, penilaian kinerja serta P2KB (pengembangan profesi kedokteran
berkelanjutan)(Pasal 21). Tidak lupa disinggung tentang keadaan kesehatan dan
batasan umur berprofesi bagi SpOG. Seluruh
SpOG harus bisa : a. mengerti bahwa bila ia sudah pensiun dengan usia yang
lanjut (70 tahun), sehingga tidak dapat lagi berprofesi-praktek dengan baik
oleh karena dapat membahayakan pasien; b. mengerti dan memahami, apabila tak
berkapasitas lagi dalam berprofesi-praktik, harus dapat berhenti berprofesi –
praktik; c. bahwa setelah menderita sakit yang berat, seperti stroke, maka demi
kepentingan keselamatan pasien, yang bersangkutan tidak lagi
berprofesi-praktik; kalau secara medis berdasarkan pemeriksaan kesehatan masih
dapat berprofesi, sebaiknya dalam melakukan tindakan didampingi oleh SpOG yang
lebih muda. Untuk lebih jelasnya maka sebaiknya setiap SpOG menyempatkan sekali
saja membaca secara lengkap buku Panduan Profesi Spesialis Obstetri Ginekologi
POGI. Dari buku Panduan Etika dan Profesi dapat dipetik beberapa hal yang
penting untuk mengingatkan semua SpOG antara lain :
Bab
II Pasal 3: dalam melakukan pelayanan kesehatan reproduksi harus selalu
diperhatikan hak-hak pasien serta hak dan kewajiban dokter. Dalam penjelasannya
pelayanan reproduksi termasuk: aborsi yang aman dan perawatan pasca-keguguran.
Pasal
4: menjadi pembela (advokasi) masalah-masalah kesehatan perempuan, termasuk
melawan tindakan kekerasan pada perempuan (a.l. KDRT)
Pasal
5 : selalu mengedepankan “patient safety”
Bab
IV , tentang Sikap terhadap Seksio sesaria atas permintaan (tanpa indikasi medis).
Bab V : tentang menyelamatkan janin pada ibu yang meninggal mendadak. Bab VI :
tentang Bank darah tali pusat dan pemanfaatan jaringan
Bab
VII tentang Kloning rekayasa genetika dan riset pada praembrio.
Bab
VIII tentang teknologi reproduksi buatan dan termasuk Bab X : tentang sikap
dokter spesialis obstetri Ginekologi terhadap aborsi. Dinyatakan pada pasal 37:
Aborsi atas indikasi medico-psikososial dapat dilakukan pada kasus kasus
tertentu secara selektif setelah melalui konseling yang aman dan dapat
dipertanggung-jawabkan. Untuk menjawab
krusial persoalan ini maka pasal 38 memberikan penjelasan : Sebagai kontrol
apakah keputusan aborsi aman dibenarkan secara etis ialah apabila keputusan itu
dibuat dengan berat hati karena tidak ada jalan lain yang lebih baik, dan bukan
karena pertimbangan komersial.
ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) (1,2,5,6)
AKI di Indonesia bukan saja masih
tinggi di regional juga menurunnya sangat lambat. Di antara tujuan MDGs (Millenium
Development Goal's) yang lainnya, maka penurunan AKI akibat proses melahirkan
paling menjadi tantangan. Dikhawatirkan akan ada kegagalan dalam pencapaian target MDG
karena kegagalan dalam upaya menurunkan AKI ini. Dari jumlah yang ditargetkan, yaitu 102 kematian per 100.000
kelahiran pada tahun 2015, maka berdasarkan sensus epidemiologi kesehatan yang
dilakukan, AKI saat ini masih pada angka 228 jiwa tiap 100.000 kelahiran angka
yang masih sama seperti tahun 2007. Sementara itu jumlah lulusan SpOG dan bidan
setiap tahun sudah banyak bertambah sehingga dipertanyakan apa yang salah dari situasi
sekarang ini. Sementara itu biaya pendidikan untuk meluluskan seorang SpOG
sampai 500 juta selama empat tahun, dengan produksi 200 lulusan per tahun oleh
14 FK di Indonesia. Total SpOG di Indonesia (2011) 2350 dengan rasio 1 : 26.000
penduduk dengan tujuan rasio ideal adalah 1 : 2000 penduduk dan semestinya,
secara teoritis seluruh SpOG dapat tersebar merata di seluruh propinsi di
Indonesia.
Melihat perkembangannya,
maka AKI di Bali sesungguhnya sudah jauh dibawah rerata nasional demikian juga
kalau dilihat dari target Bali (< 100/100.000), demikian juga terhadap target
MDGs Indonesia pada tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup. Akan tetapi angka
ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI di negara-negara ASEAN. Jika dilihat dari cakupan
dan kualitas pelayanan kesehatan maternal (program KIA) di Bali sudah cukup
baik (K1 sebesar 98,31% dan K4 sebesar 92,23%). Dari catatan Dinas Kesehatan
Propinsi Bali , ada fluktuasi AKI di Bali dari : 59.5 (2005); 80.44 (2006) ;
69.2 (2007); 71.04 (2008); 73.9 (2009); 58.1 (2010 dan 84.25 (2011) yang
menandakan belum adanya konsistensi sistem pelayanan kesehatan meskipun sudah
ada beragam sistem bantuan berupa Jamkesmas , Jampersal untuk ibu melahirkan
dan khusus dari pemerintah propinsi Bali berupa program Jaminan Kesehatan
Daerah Bali Mandara (JKBM). Disamping ada perubahan tren kausa kematian ibu tetapi
data tahun 2011 mencatat kausa kematian obstetri 64% sedangkan kausa non
obstetri 36% bervariasi dari sakit jantung, gagal ginjal, pneumoni serta, yang
perlu diwaspadai adalah, pengidap HIV. Ditengarai AKI relatif sulit diturunkan
lagi karena alasan:
1.
birokrasi administratif menyebabkan penduduk asli
Bali-pun tak dapat mempergunakan fasilitas bantuan kesehatan yang telah ada
sehingga sistem pembiayaan dan pembayaran kesehatan perlu dibenahi. Juga
birokrasi belum berhasil menata imigran pendatang (diperkirakan 300.000 orang
pertahun) yang tak termasuk mendapat pembiayaan tetapi kematiannya tercatat
dalam AKI Bali.
2.
Sistem organisasi pelayanan yang masih perlu dibenahi
tentang ante natal care , pengenalan kehamilan ririko tinggi, program
perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) , pola rujukan dan standar
PONEK di tempat pelayanan kesehatan
3.
Belum adanya pembenahan atau tindakan yang dilakukan
setelah ada audit kematian ibu dan neonatus di suatu tempat pelayanan, buktinya
masih ada kejadian kematian ibu yang terjadi berulang dari senter tertentu
dengan kausa yang sama.
4.
Untuk yang lebih mendasar adalah masih perlu ditingkatkan
penyuluhan kesehatan dan mengubah prilaku masyarakat.
Yang menjadi perhatian profesi adalah jangan sampai SpOG
melakukan kesalahan dalam ranah tiga keterlambatan yang menjadi faktor
terjadinya AKI yaitu : terlambat
memutuskan ; terlambat merujuk dan terlambat melakukan tindakan akhir oleh
karena terlambat datang atau tak ada ditempat atau susah dihubungi.
MENINGKATNYA ANGKA SEKSIO SESARIA (2,7,8,9)
Sejak
1970 terjadi “booming” seksio sesaria
di seluruh dunia mulai di Amerika dari angka 5.8% (1970) menjadi 32.3%(2008);
di Amerika Latin dari 16.8%((1970) menjadi 40%(2009) dan satu kota Sao Paulo di
Brasil bahkan sampai 70%. DepKes RI (2008) mencatat data dari 32 RS Propinsi menunjukkan
angka seksionya berkisar 3.30 – 40.4% dengan rata rata 24% total
persalinan. Meningkatnya angka seksio sesaria di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia dan di Bali tampaknya memprihatinkan dan selalu ada pro
dan kontra akan tetapi belum ada upaya upaya yang efektif yang dapat menurunkan
angka seksio itu kalau tidak malah sebaliknya. Di seluruh dunia peningkatan
angka seksio itu dihubungkan dengan adanya perubahan “nilai” baik akibat
perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan kebijakan profesi serta perubahan
dalam pengetahuan dan sikap masyarakat itu sendiri dalam memanfaatkan unsur
otonomi yang menjadi hak pasien. Dalam berbagai telaah maka perubahan nilai
yang terjadi, antara lain, adalah : konsep penerimaan keluarga kecil ;
perubahan dalam kebijakan perinatal, sikap terhadap letak sungsang ; bertambahnya
usia ibu hamil, dampak pemakaian monitoring elektronik untuk menilai kesehatan
janin; pasien yang takut sakit ; pengulangan seksio karena pernah seksio pada
kehamilan sebelumnya, pasien yang ingin menghindari kerusakan jaringan dasar
pelvis ; meningkatnya berat badan janin yang dilahirkan, ibu hamil yang
kegemukan, serta seksio atas permintaan sebagai hak otonomi pasien. Di sisi
lain ada perubahan sikap dokter yang tidak mau mengambil risiko dan berbagai
kepentingan lain yang saling mengkait. Makanya US National Institute of Health
menyatakan : “ …the rise in rate of CS are not, in
isolation, a cause of concern, but may reflect changing reproductive pattern”
WHO
sendiri memang telah mencabut rekomendasi Cesarean
Section-rate 15% untuk rumah sakit rujukan . Pernyataan resminya adalah : “ There is no empirical evidence for an
optimum percentage. What matter most is that all women who need cesarean
section receive them”. Angka seksio
optimal adalah tergantung pada tujuan keluaran optimal untuk ibu dan bayinya
dengan memperhatikan kepentingan ibu. Artinya bila tidak ada “tekanan
kepentingan” yang lain maka angka ideal seksio tergantung pada waktu, populasi,
perseorangan dan keadaan social. Mungkin hal ini di Bali disebut sebagai : desa, kala , patra.
Terlepas
dari itu semua itu maka sebagai profesional mungkin perlu memperhatikan hal hal
dibawah ini :
·
Konsep bahwa : “The best method of delivery in the world is SAFE VAGINAL BIRTH”
·
Bila tidak ada kontra-indikasi mutlak (seperti
panggul sempit, plasenta previa, CPD , letak lintang dlsb) maka harus selalu
diberikan kesempatan lahir per-vaginam sampai berkembang distosia yang bukan
karena kelemahan his.
·
Keputusan harus lebih hati hati, terutama untuk
primigravida sebab repetisi untuk terjadinya seksio ulangan adalah sampai
40-50% kasus pada kehamilan berikutnya.
·
Meskipun tindakan seksio sesaria atas permintaan
(tanpa indikasi medis) dibenarkan secara etik (Bab IV, pasal 9 Panduan Etika
dan Profesi) tetaplah dipegang persyaratan sebagai berikut:
o Pasien
harus mengajukan permohonan kepada dokter untuk melakukan tindakan seksio
sesaria.
o Dokter
harus menjelaskan bahwa pada saat tersebut persalinan pervaginam ,asih dimungkinkan.
o Dokter
harus menjelaskan bahwa persalinan melalui seksio sesaria tidak lebih baik/aman
dibandingkan persalinan pervaginam.
Untuk
tetap diingat bahwa tindakan seksio (kecuali ada indikasi mutlak) akan bisa
berdampak terjadi pengulangan seksio darurat, kejadian plasenta previa, plasenta
akreta, , meningkat kejadian perdarahan post partum dan kejadian histerektomi pada kehamilan berikutnya.
PENANGANAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN (2,10,11,12)
Setelah
perdarahan dan infeksi dapat ditekan maka hipertensi dalam kehamilan semakin
menonjol sebagai kausa kematian ibu disamping kausa medis non obstetri. Oleh
karena sampai saat ini juga persoalan preeklamsia masih tetap sebagai disease of theories dan apapun teori
kausanya maka ia harus mampu menjelaskan 3 fenomena utama yaitu: adanya
vasokontriksi sistemik; adanya hemokonsentrasi serta mudahnya terjadi gangguan
koagulopati dan lesi endotel. Teori yang banyak dianut adalah kesepakatan bahwa
patologi preeklamsi dimulai sejak awal saat ada gangguan remodeling arteria
spiralis sehingga secara keseluruhan berdampak pada terjadinya insufisiensi
sirkulasi feto-plasenter. Hal yang sama juga terjadi pada kehamilan dengan ibu yang
menderita hipertensi terlebih dahulu. Sampai saat ini dua keadaan tersebut
menyumbang cukup bermakna morbiditas dan mortalitas baik pada ibu dan
bayinya. Klasifikasi hipertensi dalam
kehamilan dibagi atas : I . Hipertensi gestational : didapatkan tekanan darah
>= 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan, tidak disertai
proteinuria dan desakan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan;
II. Pre Eklamsi : tekanan darah >= 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20
minggu, disertai proteinuria >= 300 mg/24 jam atau dipstick >= 1+ ; III.
Eklamsi : adanya kejang dan atau disertai koma pada preeklamsi ; IV. Hipertensi
kronik dengan superimposed preeklamsi : timbulnya proteinuria >= 300 mg/24
jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya dan
proteinuria timbul setelah umur kehamilan 20 minggu.; V. Hipertensi kronik :
ditemukan tekanan darah >= 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum umur
kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.
Begitu terjadi pre-eklamsi maka terapi terbaik adalah terminasi kehamilan ,
akan tetapi itu tak bisa dilakukan dengan alasan untuk mencapai viabilitas
bayi. Secara klasik sudah diketahui
faktor faktor risiko terjadinya preeklamsi yaitu :
A.
Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya
preeklamsi
a. Risiko
yang berhubungan dengan partner laki :
i. Primigravida
ii. Primipaternitas
iii. Umur
yang ekstrim : terlalu muda / tua
iv. Partner
laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil mengalami preeklamsi
v. Pemaparan
terbatas pada sperma
vi. Inseminasi
donor dan donor oocyte
b. Risiko
berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu
i. Riwayat
pernah preeklamsi
ii. Hipertensi
kronik
iii. Penyakit
ginjal
iv. Obesitas
v. Diabetes
vi. APS
dan hiperhomosistemia
c. Risiko
yang berhubungan dengan kehamilan
i. Mola
hidatidosa
ii. Hamil
kembar
iii. Infeksi
saluran kemih
iv. Hidrops
fetalis
B.
Faktor yang mengurangi risiko terjadinya preeklamsi:
a. Seks
oral
b.
Merokok
Sesungguhnya
morbiditas dan mortalitas karena preeklamsi/ eklamsi dapat diturunkan sampai
sangat rendah dengan cara melakukan terminasi kehamilan dengan catatan senter
pelayanan harus menyediakan Neonatal
Intensive Care Unit yang mampu
merawat bayi dengan berat badan lahir rendah. Di Negara maju, kemampuan neonatologist serta fasilitas NICU-nya
mampu menurunkan AKI oleh karena preeklamsi dengan cara segera melakukan
terminasi. Tujuan penanganan preeklamsia adalah untuk mencegah
agar pasien jangan terjun ke eklamsia dengan cara mempertahankan kehamilan seaterm
mungkin. Bila sudah terjadi eklamsi maka terminasi kehamilan dilakukan tanpa
memandang umur kehamilan dengan cara yang sesuai kondisinya. Banyak usaha usaha
pencegahan yang merupakan evidence
medicine practice (yang sering dikerjakan) akan tetapi belum terbukti
memberikan manfaat secara evidence based
medicine.
Dalam
praktik kesehariannya maka seorang SpOG harus memperhatikan : faktor risiko
terjadinya ; klasifikasi kehamilan dengan hipertensinya ; penanganan sampai pre-eklamsia berat dengan berbagai
sikap dan medikamentosa sambil menunggu viabilitas fetus tercapai dan setelah
itu terminasi (kalau perlu diberikan kortikosteroid pematangan paru); dan bila
sampai terjadi eklamsi maka juga dilakukan terminasi sesuai dengan
persyaratannya.
PENATALAKSANAAN PREMATURITAS ( 2,13,14)
Prematuritas
yang, pada umumnya, akan menghasilkan bayi dengan berat badan lahir rendah
masih merupakan penyumbang angka kematian perinatal di Indonesia. Prognosa bayi
prematur tergantung berat badan serta maturitas organ vitalnya untuk berfungsi
pasca lahir. Usia kehamilan 20-27 minggu , dengan berat badan < 1000 gram (extremely preterm), kehamilan 28-32
minggu, dengan berat badan lahir 1000-1500 gram (very preterm); usia kehamilan
32-36 minggu, berat badan 1500-2500 gram , tentulah berbeda prognosanya
tergantung kesiapan neonatal intensive
care unit (NICU) yang ada. Banyak faktor risiko yang menimbulkan persalinan
prematur antara lain: idiopatik, iatrogenik, sosio-demografik, faktor ibu,
penyakit medis dan keadaan kehamilan, infeksi dan ada faktor genetik. Telah
dikenal pula berbagai penanda biokimiawi untuk prediksi persalinan prematur
seperti misalnya: pengukuran corticotrophin
releasing hormone (CRH) yang diproduksi oleh plasenta dan korioamnion;
pengukuran kadar estrogen dan progesterone; perhitungan sitokin yang dikaitkan
dengan adanya inflamasi terutama IL-1, TNF@, IL-6 ; memeriksa hasil pecahan
matriks ekstra seluler seperti MMP-1, MMP-9 dan fFN (fetal fibronectin) serta
IGFBP-1 (Insuline-Like Growth
Factor-Binding Protein) serta pemeriksaan USG dengan melihat perubahan funneling,corong kanalis servikalis.
Pada
akhirnya diagnosis ditentukan dengan cara penentuan umur kehamilan yang
disertai dengan tanda-tanda inpartu klasik berupa: intensitas his yang semakin
nyata, disertai penipisan serviks dan keluarnya mucus tercampur darah dan
menurunnya bagian terendah janin.
Manajemen
persalinan prematur meliputi : usaha pemberian tokolitik, pemberian steroid,
pemberian anti-biotika serta rencana persalinannya. Ada kontroversi tentang
manfaat tokolitik ini dalam memperpanjang usia kehamilan akan tetapi manfaat
nyatanya adalah untuk memberi kesempatan pemberian kortikosteroid pematang paru
sehingga keluaran janin menjadi lebih baik. Tokolitik yang dipakai bervariasi
antara : magnesium sulfat; beta2-simpatomemetik (eks: Ritodrine) ; indomethasin
; COX (cyclo-oxygenase)-2 inhibitors ;
Atosiban ; nifedipin. Pemberian kortiko steroid terutama untuk umur kehamilan
24-34 minggu, lebih disukai bethamethasone 12 mg intra-muskuler yang bosa
diulang setelah 24 jam-nya sedangkan pemberian antibiotika terutama untuk
prematuritas yang didahului oleh ketuban pecah dini atau diyakini kausanya karena
factor infeksi. Tentang pemakaian 17
alpha-hydroxyprogesterone direkomendasi untuk : pencegahan prematur bagi
ibu hamil dengan riwayat kelahiran prematur sebelumnya atau diketahui ada
penanda (misalnya pemendekan serviks pada USG) pada umur kehamilan 22-26 minggu
(ACOG & SOGC). Pengikatan serviks dengan cara cerclage hanya untuk kausa inkompeten serviks.
MENYELAMATKAN JANIN PADA IBU YANG MENINGGAL
MENDADAK (2,3,5,15,16,17)
Bab V Pasal 11 Panduan Etika dan
Profesi mengingatkan kemungkinan SpOG akan dihadapkan dengan kegawat-daruratan
ibu hamil dalam keadaan sekarat.
Tindakan
gawat darurat seksio sesaria dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayi pada
saat ibu dalam keadaan sekarat bahkan ibu sudah mati karena berbagai kasus
kegawatan. Rekomendasi Katz (1986) SS dilakukan pada seluruh kejadian cardiac
arrest yang gagal ditolong dengan CPR yang adekuat tanpa memandang kausanya
dengan alasan : American Heart
Association ; manual on Basic Life Support states :”the patient must always be
in the supine position when external chest compression is performed” ;
“aortocaval compression by pregnancy will reduce the venous return resulted in
diminished CO”
Sudah
diketahui bahwa resusitasi ibu dan bayi lebih mudah dilakukan setelah bayi
dilahirkan. Efektivitas CPR pada kehamilan trimester III diganggu oleh kompresi
aortocaval yang mengurangi venous-return stroke volume output sampai 30% dari
normal. Memiringkan ibu kekiri merupakan tindakan awal resusitasi dan bila
gagal maka bayi harus dilahirkan dalam 5 menit. Mengosongkan uterus segera akan
menaikkan CO 60-80% dari keadaan sebelum hamil memperbaiki sirkulasi.
Jadi
SSPM dilakukan pada ibu hamil trimester III yang berada dalam keadaan sekarat
atau bahkan sudah mati oleh berbagai sebab setelah atau sedang mendapatkan CPR
yang intensif dan bayinya masih hidup. Keadaan sekarat ibu bisa karena: cardiac arrest karena kecelakaan, cedera
kepala berat, bunuh diri, keracunan, serangan jantung, stroke maupun emboli air
ketuban. Syaratnya : bayi masih hidup, umur kehamilan setelah 28 minggu; cardiac arrest baru terjadi dalam 5
menit dan itu berarti keputusan harus sudah diambil pada menit keempat;
tersedia pelayanan NICU yang handal; dalam keadaan jarang SSPM dilakukan secara
berencana. Tehnik melakukannya dengan mencari tempat terdekat yang paling
memungkinkan; melakukan insisi mediana tipe korpore dengan prinsip “quick in quick out” ; cedera minimal ,
pemotongan tali pusat panjang dan segera melakukan resusitasi neonates
sementara resusitasi ibu terus dilakukan. Penutupan luka operasi tandar atau
asal tertutup dan dilakukan oleh tenaga Obgin “terbaik” saat itu. Hambatan atau
keterbatasannya adalah: umur kehamilan sering tak pasti, sebelum 23 minggu SSPM
tak ada gunanya dan lebih baik fokus pada usaha untuk menyelamatkan ibu; interval
waktu 5 menit sangat pendek; kemampuan resusitasi neonatal masih terbatas.
Vern
Katz dkk : Perimortem caesarean delivery: Were our assumptions correct ? AJOG
2003 : “in trauma resuscitation however,
perimortem cesarean section may not improve maternal outcome, and , as a
consequence, it may be difficult sometimes to know at which point, if any, to
“abandon” the mother in favor of the fetus. Without easy answers, individual
clinical judgement remain the best strategy”
Conclusion
: Published reports from 20 years
(1885-2004) support, but fall far from proving, that perimortem cesarean
delivery within 4 minutes of maternal cardiac arrest improves maternal and
neonatal outcomes.
Dalam
hal ibu dinyatakan meninggal atau mati batang otak, atau menjelang kematian
akibat gagal nafas atau gangguan sirkulasi darah sedangkan janin masih hidup
dan viable, maka tindakan seksio darurat harus segera dilaksanakan kecuali :
·
Bertentangan dengan pesan ibu waktu masih sadar
·
Harapan hidup bayi sangat kecil
·
Tidak disetujui suami atau keluarganya.
Dalam menghadapi situasi seperti
itu beberapa opsi dapat dilakukan yaitu: seksio sesaria darurat ;
mempertahankan fungsi pernafasan dan sirkulasi agar janin menjadi lebih matur
atau menghentikan upaya perawatan ibu.
PEMAKAIAN MISOPROSTOl.(2,14,18,19,20)
Mungkin
pada era sekarang ini pemakaian misoprostol lebih banyak dipakai di bidang
obstetri dibandingkan tujuan pertama kali obat itu diproduksi yaitu untuk
mengatasi ulcus ventriculi. Efek sampingnya yang dapat menyebabkan kontraksi
rahim menyebabkan penggunaan obat ini “off
label use” yang dipakai untuk berbagai indikasi di bidang obstetri yang disertai
dengan pengaturan dosis dan rute pemakaiannya. Indikasi misoprostol yang
dituang dalam buku Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri 2012 adalah : untuk
induksi persalinan, perdarahan pasca salin dan terminasi kehamilan. Kontra
indikasi pemakaiannya adalah adanya cacat rahim akibat seksio sesaria atau
pembedahan lain yang sejenis dan bila ada risiko alergi terhadap obatnya.
Untuk
induksi persalinan janin yang masih hidup dapat diberikan : misoprostol 20-25ug
per oral setiap 2jam atau pemberian pervaginam misoprostol 25ug setiap 6 jam.
Dosis maksimal adalah dua kali pemberian dan pemberian lewat sublingual, bukal
maupun rektal belum direkomendasikan (level
of evidence (LE) Ia, rekomendasi A). Terminasi kehamilan trimester I
(<14 minggu) direkomendasikan : misoprostol pervaginam 800ug setiap 6 jam
sampai dosis maksimal 3 kali pemberian ( LE Ib, rekomendasi A) . Sebelum
melakukan kuretase direkomendasikan pemberian misoprostol pervaginam atau
sublingual 400ug , 2-3 jam sebelum tindakan (LE Ia, rekomendasi A).
Untuk
terminasi kehamilan trimester II (15-27 minggu) dapat diberikan misoprostol 400ug
pervaginam setiap 3 jam sampai dosis maksimal 5 kali pemberian pada umur
kehamilan sampai 20 minggu dan bila lebih dosisnya sama dengan untuk terminasi
IUFD. Untuk IUFD umur kehamilan 20-26 minggu dapat direkomendasikan misoprostol
100ug setiap 6-12 jam sampai maksimal 4 kali pemberian. Untuk umur kehamilan
>27 minggu diberikan misoprostol 25-50ug setiap 4 jam sampai maksimal 6 kali
pemberian (LE Ib, rekomendasi A).
Penggunaan
yang paling penting dalam biang obstetri adalah untuk pencegahan perdarahan pasca
salin dengan pemberian misoprostol 600ug per-oral dan untuk pengobatan
perdarahan pasca salin misoprostol 800ug per-rektal (LE Ib, rekomendasi A).
Yang perlu diperhatikan adalah efek sampingnya berupa: mual muntah ; demam
sampai menggigil ; hiperkontraktilitas rahim / tetania uteri. Women on Waves dalam rangka kampanye
pembelaan hak reproduksi perempuan maka untuk aborsi (pro choice) telah mengadviskan pemakaian 4 pil (800ug) dibawah
lidah dikulum selama 30 menit dan diulang setiap 3 jam (maksimal 2400 ug) bagi kehamilan trimester I dan mengklaim
keberhasilan 80-90% dengan catatan agar pergi ke rumah sakit bila perdarahan
berlebihan.
PENANGANAN IBU HAMIL DENGAN HIV POSITIF (2,21,22)
Mungkin
sekarang yang paling menakutkan kita adalah semakin banyaknya dijumpai ibu ODHA
yang hamil yang nantinya akan bisa menularkan pada bayinya dan juga menulari nakes
yang menolong persalinannya kalau tidak hati hati. Ketika pada tahun 1987 ada
turis Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah diduga karena AIDS maka hanya
dalam waktu 10 tahun, pada tahun 1997 telah lahir bayi di RSUP Sanglah dari
seorang ibu dengan seropositif HIV. Data tahun 2010 di Indonesia tercatat
333.200 kasus ODHA , 25% diantaranya perempuan. Di Bali pada 2010 ditemukan
1747 kasus merupakan urutan terbanyak ke-6 setelah Jakarta, Jatim, Jabar dan
Papua. Akan tetapi dalam persentase jumlah kasus per jumlah penduduk maka Bali
menempati urutan ke-2 setelah Papua dan ditemukan peningkatan kasus dari 165 (
thn 2008) menjadi 478 (thn 2010). Danas Kesehatan Propinsi Bali melaporkan
hanya dalam waktu dua bulan Juni sampai dengan Agustus 2012 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS dari 6292 kasus menjadi total 6504 kasus dan
menempatkan Bali sebagai propinsi 3 terbanyak jumlah penderitanya setelah
Jakarta, Yogya dan Papua. Kalau pada awalnya penularan HIV melalui homoseksual
dan jarum suntik maka sejak 2005 sudah mulai bergeser ke rumah tangga dari
suami positif yang mendapatkannya dari prostitusi dan satu dekade terakhir penularan dari suami ke
istri dan bahkan ada penularan perinatal dan mengenai bayi yang tak berdosa.
Ada
3 pasal dalam Buku Panduan Etika dan Profesi POGI yang mencantumkan sikap
profesi terhadap ODHA. Pasal 39: Perempuan seyogyanya menerima pemeriksaan
laboratorium terhadap HIV. Pasal 40: Bagi pasangan infertilitas yang salah satu
atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis untuk diberi pelayanan reproduksi
buatan, bila mereka menginginkannya. Pasal 41: Dokter spesialis obstetric dan
ginekologi wajib memberikan pertolongan yang professional pada pasien perempuan
terinfeksi HIV sebagaimana pada pasien lainnya.
Infeksi HIV pada orang hamil menjadi penting karena: sebagian besar ODHA pada perempuan adalah
dalam usia subur; ada penularan vertical pada bayi yang dikandungnya ; 90% HIV
anak didapatkan secara vertical dari ibunya; anak yang lahir cepat atau lambat
akan menjadi yatim piatu. Pertimbangan dari segi perinatal juga mendapatkan :
prevalensi ODHA dengan kehamilan meningkat ; penularan vertical menyebabkan
naiknya prevalensi ODHA di masyarakat; HIV belum ada vaksinnya; ASI sebagai
sumber infeksi; belum dilakukan skrining rutin pada ibu hamil; terpaparnya
tenaga kesehatan bila kontak dengan ibu hamil ODHA. Sudah pula ada buku
petunjuk tentang Prevention of Mother To
Child HIV Transmission (PMTCT) dan di Bali telah ada pelayanan bumil dengan
HIV positif di lima klinik PMTCT yaitu
: RSUP Sanglah , RSUD Badung, RSUD
Tabanan, RSU Sanjiwani Gianyar dan RSUD Buleleng.
PMTCT digalakkan karena 90% penularan HIV pada anak lewat
ibu hamil dan menyusui dan 10% lewat transfuse. Infeksi HIV dari ibu ke anak
menganggu kesehatan dan penularan dapat ditekan sampai 50% dengan pengobatan
yang sudah tersedia di klinik PMTCT. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
tanpa intervensi PMTCT : 5-10% pada kehamilan; 10-20% saat persalinan dan
10-15% saat menyusui. Risiko penularan saat persalinan akibat : his akan
meningkatkan tekanan vaskuler pada plasenta sehingga relatif mudahnya
percampuran darah ibu dan bayi; bayi terpapar darah dan lendir pada saat
melewati jalan lahir dan bayi kemungkinan terinfeksi karena menelan darah dan
lendir serviks pada saat resusitasi.
Pelaksanaan asuhan ante natal dilaksanakan sebagaimana
biasa yaitu monitoring kesehatan ibu pada umumnya serta tumbuh kembang
bayi. Yang terpenting adalah pemberian
anti-retro-virus (ARV) profilaksis untuk menurunkan viral load serta deteksi
dini serta terapi faktor penyulit. Hindari penularan ke pasangan dengan
pemakaian kondom dan periksa status serologis HIV pasangan. Secara singkat
prinsip PMTCT pada ibu hamil dengan HIV-sero-positif adalah : pemberian ARV
kombinasi ; cara kelahiran primer seksio sesaria (kecuali ada indikasi obstetri
mendadak) dan setelah melahirkan tidak menyusui dan dianjurkan untuk tidak
hamil lagi.
Sesungguhnya kegiatan komprehensif
PMTCT meliputi: 1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi; 2. Mencegah kehamilan yang tak direncanakan pada ibu dengan HIV; 3.
Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yan
dikandungnya; 4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya. Dengan demikian maka pemeriksaan
rutin HIV haruslah menjadi acuan untuk setiap orang hamil saat pertama
melakukan pemeriksaan ante natal dan apabila positif maka ditangani sesuai
dengan algoritma penanganan HIV positif.
PENGOBATAN ALTERNATIF SERTA IMPLIKASINYA (2,23,24,25,26,27)
Definisi
sehat WHO, dari dulu tidak diubah yang intinya bahwa kesehatan meliputi raga,
jiwa dan bahkan sosial. Ketika ada pemeo bahwa: banyak jalan ke Roma , termasuk
dalam usaha kesehatan maka sangat masuk akal bahwa pengobatan medis konvensional
bukan satu satunya cara menuju kesembuhan. Meskipun banyak keberhasilan akan
tetapi cara medis konvensional tak selalu sepenuhnya berhasil “menyembuhkan”
pasien. Istilah “idiopatik”, bukti bahwa ada efek placebo mengungkapkan masih
banyak hal yang belum bisa diungkap, pendekatan sub-spesialistik sering
meninggalkan cara pendekatan holistik yang diartikan sebagai : body, mind and spirit approach. Bidang
inilah yang menjadi pintu masuknya pengobatan alternatif (PA) karena pengaruh
transkultur, kepercayaan tradisionil, menambahkannya sebagai komplemen dan
bukan pengganti pengobatan medis konvensional yang telah ada. Hampir di seluruh
dunia pengobatan alternative ini diterima dan WHO memperkirakan hanya 30% saja
yang murni melakukan pengobatan konvensional sedangkan sisanya memakai
campuran, PA sebagai terapi suplemen bagi pengobatan konvensional. WHO dalam Guidelines
for the assessment of Herbal Medicine menyatakan, kecuali ada data yang
bertentangan, maka pemakaian obat tradisional yang sudah sekian lama
menunjukkan bahwa bahan obat itu terbukti mempunyai khasiat tertentu meskipun
belum diketahui bagaimana cara kerjanya.
Dari kenyataan, bahwa ada obat ramuan tradisional yang sudah dipakai
puluhan dan bahkan ratusan tahun “tanpa” ada catatan efek samping menambah
keyakinan ini. Dan banyak sekali temuan obat modern yang berasal dari tumbuhan
: kina, mophin, curare , digitalis dan sudah terbukti khasiatnya. Bahwa ada
toleransi dari profesi kedokteran modern terhadap “ramuan obat herbal
tradisional” yang sudah beredar luas bila dalam percobaan klinis dapat
menunjukkan khasiatnya tanpa efek samping yang berat, maka bahan tersebut dapat
dimasukkan dalam “fito-farmaka” yang dapat disediakan di apotik dan dokter bisa
meresepkannya. Tindakan akupunktur bahkan sekarang diakui sebagai cabang ilmu
yang resmi dan (beberapa fakultas) diajarkan dalam kurikulum kedokteran.
Dari segi tingkatan
pelayanan kesehatan terhadap pasien “the
tasks of medicine” is : to cure sometime; to relieve often and to care always” maka profesi harus memperhatikan kebutuhan
pasien dalam berbagai aspeknya. Perkembangan “psiko-neuro-immunologi” yang
selalu mengkaji dan menghubungkan bahwa sesuatu di psiko akan mempengaruhi
neuro yang mempengaruhi sistem endokrin dan akhirnya mempengaruhi reaksi
kekebalan tubuh yang tentu saja akan berpengaruh pada penampilan “kesakitan”
pasien. Spektrum pengobatan alternatif
meliputi : chiropractice ; massage therapy; traditional chinese medicine;
acupuncture; hipnotis ; water-birth dan sejenisnya dan lain lain.
Tentang alasan mengapa masyarakat mempergunakan PA karena
beberapa hal antara lain : penderita penyakit kronis (mis: kanker) banyak yang
kurang puas dengan lambatnya penyembuhan oleh obat konvensional ; merasakan
“lebih baik” karena PA meningkatkan relaksasi dan menurunkan stress, sehingga
perbaikan emosi akan mempercepat penyembuhan; mengurangi keluhan dan efek
samping obat konvensional ; perasaan ikut aktif berperan dan mengontrol
perjalanan penyakit , asal tak bertentangan dengan petunjuk dokternya ; menganggap bahwa PA,
herbal lebih alamiah dan tidak toksis ; punya kebebasan waktu untuk bicara
dengan terapisnya , contohnya pada aromatherapy yang tak selalu dipunyai oleh
seorang dokter; beberapa memakai PA untuk membuat dirinya berfikir positif dan
mempunyai harapan; beberapa menganggap bahwa PA dapat meningkatkan system
imunitasnya; dan bahkan ada yang mengharapkan kesembuhan total dengan hanya
memakai PA tanpa mempergunakan terapi konvensional. Dari pandangan etika dokter harus menghargai
pilihan pasien berdasarkan hak otonominya sepanjang keyakinan dokter bahwa PA
yang dipilih tak bertentangan dengan efek pengobatan konvensional yang
diberikan. Pada akhirnya diskusi yang mendalam tentang peranan PA sebagai
suplemen terapi konvensional , tentang aspek manfaat dan kerugiannya harus
dilakukan.
BAGAIMANA SIKAP PROFESIONAL
Ketika terjadi perubahan nilai di masyarakat oleh karena
perkembangan ilmu, teknologi kedokteran serta perubahan di tingkat global dan
masyarakat sendiri maka dapat dipastikan akan ada tren tren baru yang akan
mengubah kebijakan pelayanan kedokteran termasuk cara penanganan obstetri .
Dalam hubungan itu sikap seorang profesional haruslah tetap mengacu pada etika profesi yang menekankan pada dan untuk
kepentingan pasien yang terdiri dari asas : beneficence
; non-maleficence ; autonomy and justice. Paradigma tentang pengobatan yang
berbasis bukti haruslah selalu dikedepankan, meskipun tidak selalu mudah dapat
dilaksanakan. Pada umumnya dengan memakai panduan atau prosedur tetap terkini
yang dikeluarkan oleh perkumpulan profesi sudah cukup untuk dipakai pegangan
dalam bersikap melayani pasien. Sikap atau keputusan yang diambil haruslah
untuk kepentingan pasien dan harus dijelaskan lewat informasi yang lengkap,
jelas dan komplit untuk akhirnya mendapat persetujuan yang selanjutnya diikuti
dengan tindakan yang lege artis, artinya dilakukan dengan benar, cermat dan
hati hati dan bertanggung jawab. Untuk selanjutnya monitoring hasil dan
mengkomunikasikan semua perkembangan yang terjadi sampai final, apakah pasien
sembuh atau meninggal. Selanjutya ketika pasien memilih menambahkan PA sebagai
suplemen, dokter semestinya mengkajinya secara cermat apakah hal itu akan
mengganggu kerja pengobatan konvensional . Sudahkah itu didiskusikan dengan
cermat complete, correct and clear dan
berakhir pada lahirnya informed consent ?
DAFTAR RUJUKAN
- Workshop Nasional Pelayanan Kebidanan yang diselenggarakan di Kementerian
Kesehatan RI, Selasa (15/5/2012).
2.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC,
Gilstrap III LC, Wenstrom KD (Eds.): William Obstetrics, 22nd
Edition 2005. Chapter 25: Cesarean Delivery and Peripartum Hysterectomy
:587-606 ; Chapter34: Hypertension disorders in Pregnancy: 761-808 ; Chapter
36: Preterm Birth: 855-880 ; Chapter 59: Sexually Transmitted Diseases :
1310-1317.
3.
Dewan Pertimbangan POGI 2012 : Panduan Etika dan Profesi Obstetri dan
ginekologi di Indonesia (Good Practice in Obstetrics & Gynecology).
4.
Chambliss LR : Alternative and Complementary
Medicine: An Overview. Clinical Obstetrics and Gynecology ,2001,Vol 44, Number
4:640-652
5. Pengurus Besar POGI : 2012. Panduan Profesi
Spesialis Obstetri-Ginekologi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
6.
Divisi ObSos Bagian Obstetri Ginekologi FK
Udayana /POGI Cabang Denpasar: Laporan AKI Propinsi Bali 2011
7. Kornia Karkata. Kecendrungan peningkatan seksio
sesaria: Apakah itu malapetaka? Majalah Kedokteran Udayana (MKU), April 2005
vol 36;128:128-35.
8.
ACOG. Task force on cesarean delivery rates:
Evaluation of Cesarean delivery. June 2000.
9.
Minkoff
H, Chervenak FA: Elective primary cesarean delivery. 2003, N Engl J Med ;
348:946
10. Fiona Iyall , Michael Belfort: Preeclampsia:
Etiology and Clinical Practice ; Cambridge Medicine 2007, New York
11. Report on The National High Blood Pressure
Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy ; Am
Journal Obst Gynec Vol 183: Supp-1, July 2000.
12. WHO Recommendations for Prevention and Treatment
of Pre-eclampsia and eclampsia , Geneve , 2010
13. Sofie
Krisnadi, Jusuf Effendi, Adhi Pribadi (Eds): Prematuritas. Sub Bagian
Kedokteran Fetomaternal Bagian Obstetri Ginekologi Universitas Padjadjaran / RS
Dr Hasan Sadikin Bandung ; PT Refika Aditama, 2009.
14. Kornia Karkata , Herman Kristanto (Eds.):
Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri , Himpunan Kedokteran Fetomaternal 2012.
15. Whitten M, Irvine LM: Post mortem and
perimortem cesarean section: What are the indications? J R Soc Med 93:6,2000.
16. Finegold H, Darwich A, Romeo R, et al :
Succesful resuscitation after maternal cardiac arrest by immediate cesarean
section in the labor room. Anaethesiology 96:1278, 2002
17. Whitty JE: Maternal cardiac arrest in
pregnancy. Clin Obstet Gynecol 45:377,2002
19. G, Weeks A, Winnikoff B. Treatment of
postpartum hemorrhage. Int J Gynecol Obstet 2007;99:S-202-205.
20. Alfirevic Z, Weeks A. Oral misoprostol for
induction of labour (riview). Cochrane Riview 2007. Available at : www.thecochranelibrary.com
21. Dinas Kesehatan Propinsi Bali ; Balipost
Selasa Pon, 16 Oktober 2012
22. National AIDS Commission , Rep.Indonesia : Pedoman
Penatalaksanaan HIV-AIDS pada Kehamilan (2005)
23. Kleinman AK. Patients and Healers in the
context of Culture. Berkeley; The University of California Press; 1980:49-60
24. Chi-Keong Ong; Bridget Banks : Complementary
and Alternative Medicine: the consumer perspective. Report of a pilot study
into consumer use and preference for complementary and alternative medicine for
The Prince of Wales’s Foundation for Integrated Health, 2003.
25. Clueti ER, Nikodem VC, RE McCandish, Burns
EE.: Immersion in Water in pregnancy, labour and birth. Cochrane Database of
Systmatic Riviews 2008 Issue 1 ; The Cochrane Collaboration, Published by John
Wiley & Sons Ltd.
26. Mackey MM : Use of Water in Labor and Birth.
Clinical Obstetrics and Gynecology, 2001, Vol 44 ,Number 4: 733-749
27. Gentz BA : Alternative Therapies for the
Management of Pain in Labor and Delivery . Clinical Obstetrics and Gynecology,
2001. Vol 44, Number 4:704-732
# # # # #